Assalamu'alaikum wr. wb " Kami Pengurus mengajak kepada bapak/ibu/saudara donatur/pembaca blogpanti yang ingin berinvestasi akhirat utk pembebasan tanah panti permeter : 250.000.yang masih kurang 35 juta.jika berminat hbg bendahara Hj,sri Murtini :081328838320/0274 773720/774230/langsung transfer ke no.rekening panti BRI cab.wates no.0152.01.003706-50-5 Cq H.Anwarudin. semoga menjadi sebab-sebab kemudahan dan khusnulkhotimah

Rabu, 02 Desember 2009

Sebab-Sebab Khusnul khatimah & Su'ul Khatimah

Oleh : Tohari bin Misro
Pengasuh panti Asuhan Muhammadiyyah Wates KulonProgo Jogja

Setelah kita mengkaji malakah 18 tanda khusnul khatimah, maka selayaknya kita mengetahui sebab-sebaba khusnul khatimah dan su'ul khatimah berdasarkan Al-Qur'an dan hadis yang shahih. Maka Alhamdulillah Allah memudahkan penulis mampu menyelesaikan dan mendapatkan tulisan tentang enam sebab khusnul khatimah dan tujuh sebab su'ul khatimah yang terdapat dalam kitab Sakb al-'Ibrat. Penulis mengharap makalah ini bermanfaat bagi jamaah majlis taklim sekaligus ikut menyebarkan dan menyampaikan pada masyarakat kaum Muslim.semoga menjadi amal jariyah penulis dan jamaah yang menyebarkannya. Dan juga penulis mengharap Allah senantiasa memberi taufiq dan hidayah-Nya serta mengampuni dosa-dosa penulis. Amiin …

Sebab-sebab Husnul Khatimah :
1. Istiqamah
Istiqamah adalah anugrah terbesar dan sebab terbesar untuk meraih husnul khatimah. Allah swt berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan 'Rabb kami ialah Allah' kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) 'Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.' (Fushshilat: 30). Dan jugaAllah berfirman.
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُون * أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Sesunguhnya orang-orang yang mengatakan 'Rabb kami ialah Allah' kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. ( QS : Al-Ahqaf: 13-14 )
2. Takwa
Allah swt berfirman : "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepadaNya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (Ali Imran: 102). Syaikh Ahmad Farid mengatakan, "Allah menjanjikan orang-orang yang bertakwa berupa jalan keluar dari kesempitan, sebagaimana firmanNya: " Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.' (Ath-Thalaq: 2). Tidak diragukan lagi bahwa hamba pada saat sekarat dan dalam kesempitan, maka jalan keluar dan keselamatan terletak dalam dzikir dan ketaatan serta mengucapkan kalimat tauhid.
3. Berbaik sangka kepada Allah swt.
Rasulullah saw bersabda, "Allah berfirman, 'Aku menurut persangkaan hambaKu kepadaKu. Jika menyang-ka baik, maka baik dan jika menyangka buruk, maka buruk pula.'"
4. Jujur (Shidq)
Allah swt berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu ber-sama orang-orang yang benar." (At-Taubah: 119). Kejujuran adalah asas bangunan agama, dan tiang benteng keyakinan. Siapa yang tidak memiliki kejujuran, maka ia orang yang terputus lagi binasa. Sebaliknya, siapa yang memiliki kejujuran, maka kejujuran tersebut mengantarkannya ke haribaan Dzat yang memiliki keagungan, dan menjadi sebab husnul khatimahnya serta klimaks yang baik.
5. Taubat
Allah swt berfirman : "Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu ber-untung." (An-Nur: 31).
6. Mengingat kematian, melihat orang-orang yang sekarat, memandikan orang mati, dan berziarah kubur.
Dari Ibnu Umar ia menuturkan " Aku mendatangi Rasulullah sebagai orang yang terakhir dari sepuluh orang. Tiba-tiba seorang sahabat Anshar bertanya " Siapa manusia yang paling cerdas dan palingmulia wahai Rasulullah ? " beliau menjawab " Yang paling banyak mengingat kematian, dan paling banyak persiapan menyambutnya ( sebelum kedatangnya ), mereka itulah orang yang paling cerdas. Mereka dengan membawa kemuliaan dunia dan akhirat ( HR : Ibnu Majah : dan Abidunya, dihasankan oleh Al-Bani dalam Shahihah no.1385 )
Sebab-sebab su'ul khatimah, yaitu:
.1 . Akidah rusak dan beribadah dengan bid'ah.
Orang yang berbuat syirik tidak mengalami ketenangan dalam hidupnya.Orang yang berbuat syirik tidak mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallamOrang yang berbuat syirik diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla untuk masuk Surga. Sebagaimana firman-Nya:
إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“...Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh Allah mengharamkan Surga baginya, dan tempatnya ialah Neraka dan tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” [Al-Maa-idah: 72] Orang yang berbuat syirik akan terhapus pahala amal-amal kebajikan yang pernah dilakukannya.Allah Azza wa Jalla berfirman. :
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“...Seandainya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka ker-jakan.” [Al-An’aam: 88] *

HUBUNGAN ANTARA BID’AH DENGAN MAKSIAT ** A. Sisi Perbedaan Antara Bid’ah Dengan Maksiat[1]. Dasar larangan maksiat biasanya dalil-dalil yang khusus, baik teks wahyu (Al-Qur’an , As-Sunnah) atau ijma’ atau qiyas. Berbeda dengan bid’ah, bahwa dasar larangannya –biasanya dalil-dalil yang umum dan maqaashidusysyarii’ah serta cakupan sabda Rasulullah ‘Kullu bid’atin dhalaalah’ (setiap bida’ah itu sesat).[2]. Bid’ah itu menyamai hal-hal yang disyari’atkan, karena bid’ah itu disandarkan dan dinisbatkan kepada agama. Berbeda dengan maksiat, ia bertentangan dengan hal yang disyariatkan, karena maksiat itu berada di luar agama, serta tidak dinisbatkan padanya, kecuali jika maksiat ini dilakukan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, maka terkumpullah dalam maksiat semacam ini, maksiat dan bid’ah dalam waktu yang sama.[3]. Bid’ah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui batasan-batasan hukum Allah dalam membuat syariat, karena sangatlah jelas bahwa hal ini menyalahi dalam meyakini kesempurnaan syari’at. Menuduh bahwa syari’at ini masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum sempurna. Sedangkan maksiat, padanya tidak ada keyakinan bahwa syari’at itu belum sempurna, bahkan pelaku maksiat meyakini dan mengakui bahwa ia melanggar dan menyalahi syariat.[4]. Maksiat merupakan pelanggaran yang sangat besar ditinjau dai sisi melanggar batas-batas hukum Allah, karena pada dasarnya dalam jiwa pelaku maksiat tidak ada penghormatan terhadap Allah, terbukti dengan tidak tunduknya dia pada syari’at agamanya. Sebagaimana dikatakan oleh Ulama' salaf “Janganlah engkau melihat kecilnya kesalahan, tapi lihatlah siapa yang engkau bangkang” Berbeda dengan bid’ah, sesungguhnya pelaku bid’ah memandang bahwa dia memuliakan Allah, mengagungkan syari’at dan agamanya. Ia meyakini bahwa ia dekat dengan tuhannya dan melaksanakan perintahNya. Oleh sebab itu, ulama Salaf masih menerima riwayat ahli bid’ah, dengan syarat ia tidak mengajak orang lain untuk melakukan bid’ah tersebut dan tidak menghalalkan berbohong. Sedangkan pelaku maksiat adalah fasiq, gugur keadilannya, ditolak riwayatnya dengan kesepakatan ulama.[5]. Maka sesungguhnya pelaku maksiat terkadang ingin taubat dan kembali, berbeda dengan ahli bid’ah, sesungguhnya dia meyakini bahwa amalanya itu adalah qurbah (ibadah yang mendekatkan kepada Allah, -pent), terutama ahli bid’ah kubra (pelaku bid’ah besar), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآَهُ حَسَنًا
“Artinya : Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap baik pekerjaan yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik…” [Faathir : 8]Sufyan At-Tsauri berkata : “Bid’ah itu lebih disukai Iblis daripada maksiat, karena maksiat bisa ditaubati dan bid’ah tidak (idharapkan) taubat darinya.Dalam satu riwayat diceritakan bahwa Iblis berkata, “Saya mencelakakan Bani Adam dengan dosa dan mereka membinasakanku dengan istighfar dan Laailaha illalah.Tatkala saya melihat itu, maka saya menebar hawa nafsu di antara mereka. Maka mereka berbuat dosa dan tidak bertaubat, karena mereka beranggapan bahwa mereka berbuat baik.[6]. Jenis bid’ah besar dari maksiat, karena fitnah ahli bid’ah (mubtadi) terfdapat dalam dasar agama, sedangkan fitnah pelaku dosa terdapat dalam syahwat.. Dan ini bisa dijadikan sebuah kaidah bahwa jika salah satu dari bid’ah atau maksiat itu tidak dibarengi qarinah-qarinah (bukti atau tanda) dan keadaan yang bisa memindahkan hal itu dari kedudukan asalnya.Diantara contoh bukti-bukti dan keadaan tersebut adalah : Pelanggaran –baik maksiat atau bid’ah- bisa membesar jika diiringi praktek terus menerus, meremehkannya, terang-terangan, menghalkan atau mengajak orang lain untuk melakukannya. Ia juga bisa mengecil bahayanya jika dibarengi dengan pelaksanaan yang sembunyi-sembunyi, terselubung tidak terus menerus, menyesal (setelahnya, -pen) dan berusaha untuk taubat.Contoh lain : Pelanggaran itu dengan sendirinya bisa membesar dengan besarnya kerusakan yang ditimbulkan. Jika bahayanya kembali kepada dasar-dasar pokok agama, maka hal ini lebih besar daripada penyimpangan yang bahayanya hanya kembali kepada hal-hal parsial dalam agama. Begitu pula pelanggaran yang bahayanya berhubungan dengan agama lebih besar daripada pelanggaran yang bahayanya berhubungan dengna jiwa.Jadi sebenarnya untuk mengkomparasikan antara bid’ah dengan maksiat kita harus memperhatikan situasi dan kondisi, maslahat dan bahayanya, serta akibat yang dtimbulkan sesudahnya, karena memperingatkan bahaya bid’ah atau berlebih-lebihan dalam menilai keberadaannya tidak seyogyanya menimbulkan –sekarang atau sesudahnya- sikap meremehkan dan menganggap enteng keberadaan maksiat itu sendiri, sebagaimana ketika kita memperingatkan bahawa maksiat atau berlebih-lebihan dalam menilai keberadaannya, tidak seyogyanya mengakibatkan –sekarang atau sesudahnya-sikap meremehkan dan menganggap enteng keberadaan bid’ah itu sendiri.

HUBUNGAN BID’AH DAN MASLAHAT MURSALAH **A. Kesamaan Antara Bid’ah Dan Mashlahat Mursalah[1]. Kedua-duanya (baik bid’ah ataupun maslahat mursalah) merupakan bagian dari hal-hal yang belum pernah terjadi pada masa nabi –apalagi maslahat mursalah-. Kejadian seperti ini umumnya berupa bid’ah-bid’ah –dan ini sangat sedikit- pada zaman Nabi, seperti dalam kisah tiga orang yang bertanya tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[2]. Sesungguhnya masing-masing bid’ah –biasanya- dan maslahat mursalah keduanya luput dari dalil yang spesifik, karena dalil-dalil umum yang muthlaq-lah yang paling mungkin untuk dijadikan sebagai dalil kedua hal itu.B. Sisi Perbedaan Antara Bid’ah Dengan Mashlahat Mursalah[1]. Bid’ah mempunyai ciri khusus yaitu bahwa bid’ah tidak terjadi, kecuali dalam hal-hal yang sifatnya ibadah (ta’abbudiyyah) dan hal-hal yang digolongkan ibadah dalam masalah agama. Berbeda dengan mashlahat mursalah, karena mashlahat mursalah adalah hal-hal yang dipahami makan (tujuannya) secara akal, dan seandainya disodorkan pada akal tentu akal akan menerimanya, ia juga sama sekali tidak ada hubungannya dengan ta’abbud (masalah yang sifatnya ibadah) atau dengan hal-hal yang sejalan dengan ta’abud dalam syariat.[2]. Bid’ah mempunyai cirri khusus yaitu merupakan sesuatu yang dimaksud sejak awal oleh pelakunya. Mereka –biasanya- taqarrub kepada Allah dengan mengamalkan bid’ah itu dan mereka tidak berpaling darinya. Sangat jauh kemungkinan –bagi ahli bid’ah- untuk menghilangkan amalannya, karena mereka menganggap bid’ahnya itu menang di atas segala yang menentangnya. Sedangkan mashlahat musrshalah merupakan maksud yang kedua bukan yang pertama dan masuk dalam cakupan sarana pendukung (wasa’il), karena sebenarnya mashlahat murshalah ini disyariatkan sebagai sarana pendukung dalam merealisasikan tujuan syariat-syariat yang ada. Sebagai bukti hal itu, mashlahat murshalah bisa gugur bila berhadapan dengan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar. Maka sangat tidak mungkin untuk mendatangkan bid’ah melalui jalur mashlahat mursalah.[3]. Bid’ah juga mempunyai ciri khusus yaitu bahwa keberadaannya membawa hal yang memberatkan mukallafun (orang-orang yang dibebani untuk melaksanakan syariat) dan menambah kesusahan mereka. Sedangkan mashlahat murshalah sesungguhnya mendatangkan kemudahan dan menghilangkan kesulitan mukallafun atau membantu dalam menjaga hal-hal yang sangat penting bagi mereka.[4]. Bid’ah juga mempunyai kekhususan bahwa keberadaannya bertentangan dengan maqashidusysyarii’ah dan meruntuhkannya. Berbeda dengan mashlahat murshalah yang –agar diakui keberadaannya secara syariat- harus masuk di dalam maqashidusysyariah dan membantu pelaksanaannya. Jika tidak , maka ia tidak diakui.[5]. Mashlahat murshalah juga memiliki ciri khusus, yaitu tidak pernah ada pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dikarenakan tidak ada faktor pendorong utnuk melakukannya atau sekalipun faktor itu ada, tapi ada hal yang menghalanginya. Sedangkan bid’ah yang tidak ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya memiliki faktor pendorong dan tuntunan yang banyak, dan tidak ada yang menghalanginya. (Ini berarti bid’ah itu tidak benar, -pent).Jadi mashlahat murshalah itu jika dipengaruhi syaratnya, maka sangat bertentangan dan bersebarangan dengan bid’ah, sehingga tidak mungkin bid’ah bisa masuk melalui jalan mashlahat murshalah, karena jika hal ini terjadi gugurlah keabasahan maslahat tersebut dan tidak dinamakan mashlahat mursalah, tapi dinamakan mashlahat mulghah (yang dibatalkan) atau mafsadah (yang dirusak).
2. Zhahir berbeda dengan batinnya. 3. Lengket dan Mencintai harta duniawi hingga melupakan bekal ahkirat 4. Tidak istiqamah. 5. Hati bergantung kepada selain Allah. 6 Melakukan berbagai kemaksiatan dan tetap meneruskannya. 7. Meremehkan taubat. ( Sakb al-'Ibrat, hal. 57-64 dengan dirangkum ). Referensi :
1. * Lihat ‘Aqiidatut Tauhiid oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan (hal. 39-40)
2. DVD Maktabah Syamilah
3. Kitab Sakb al-'Ibrat " Al-Fani "
4. ** Kitab Qawaa’id Ma’rifat Al-Bida’, Penyusun Muhammad bin Husain Al-Jizani, edisi Indonesia Kaidah Memahami Bid’ah, Penerjemah Aman Abd Rahman, Penerbit Pustaka Azzam, Cetakan Juli 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar