Assalamu'alaikum wr. wb " Kami Pengurus mengajak kepada bapak/ibu/saudara donatur/pembaca blogpanti yang ingin berinvestasi akhirat utk pembebasan tanah panti permeter : 250.000.yang masih kurang 35 juta.jika berminat hbg bendahara Hj,sri Murtini :081328838320/0274 773720/774230/langsung transfer ke no.rekening panti BRI cab.wates no.0152.01.003706-50-5 Cq H.Anwarudin. semoga menjadi sebab-sebab kemudahan dan khusnulkhotimah

Minggu, 31 Januari 2010

WASIAT UMAR BIN DZAR TENTANG RENUNGAN MENGENAI PEMUTUS KENIKMATAN

Oleh : Pengasuh Panti Asuhan Muhaammadiyah Wates Kulon Progo Jogja

Makalah ini kupersembahkan kepada para pengurus panti, para ustadz dan ustadzah, para donatur panti khususnya keluarga besar H. Anwaruddin Rahimahullaahuta.ala yang pada malam Ahad tanggal 31 Januari 2010 beliau H. Anwaruddin Rahimahullaahuta.ala ( Penasehat Panti ) meninggal dunia dalam kecelakaan saat akan menghadirin pengajian rutin keluarganya didaerah Muntilan. ( semoga Khusnul Khotimah )

Selamat jalan bapak H.Anwar semoga amalmu yang begitu banyak membesarkan panti kami MENJADI MESIN AMAL JARIYAH DAN DO'A KAMI DAN ANAK-ANAK YATIM DAN DHU'AFA, akan selalu mengiringimu.

Dan bagi ditinggalkan semoga makalah ini menjadi spirit dalam hidup dan kehidupan kita terutama untuk memperhatikan kehidupan anak-anak yatim dan dhu'afa' yang lebih baik dari pengabdian beliau semasa hidupnya.

Syaikh Salim berkata " Dari Nadhar bin Ismail yang berkata: Saya pernah mendengar Umar bin Dzar [1] berkata:
Kamu sekalian telah cukup mengerti tentang kematian, maka kamu menunggu-nunggu kedatangannya siang dan malam.

Mungkin kamu meninggal sebagai seorang yang sangat dicintai oleh keluarganya, dihormati oleh kerabatnya, dan dipatuhi oleh masyarakatnya, dipindahkan keliang yang kering dan batu-batu cadas yang bisu. Tidak ada seorangpun dari keluarga yang bisa memberikan bantal, kecuali hanya menempatkannya di tengah kerumunan binatang serangga. Adapun bantal pada saat itu berupa amal perbuatannya.

Atau mungkin kamu meninggal sebagai orang yang malang dan terasing. Di dunia, ia telah ditimpa banyak kesedihan, usaha yang dilakukan sudah berkepanjangan, badan telah kepayahan, lantas kematian tiba-tiba menjemput sebelum ia meraih keinginannya.

Atau mungkin kamu adalah seorang anak yang masih disusui, orang yang sakit, atau orang yang tergadai dan tergila-gila dengan kejahatan. Mereka semua diundi dengan anak panah kematian.

Tidak adakah pelajaran yang bisa dipetik dari perkataan para juru nasihat?!

Sungguh, seringkali saya berkata: "Maha Suci Allah Jalla Jalaluhu. Dia telah memberi tempo kepada kamu sehingga seakan-akan menjadikan kamu lalai." Kemudian saya kembali melihat kepemaafan dan kekuasaan-Nya, lantas berkata: "Tidak, tetapi Dia mengakhirkan kita sampai pada batas ajal kita, sampai pada hari di mana mata menjadi terbelalak dan hati menjadi kering."

"Artinya : Mereka datang bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mengangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong." [Ibrahim : 43]

"Ya Rabbi, Engkau telah memberikan peringatan, maka hujjah-Mu telah tegak
atas hamba-hamba-Mu”

Kemudian ia membaca:

"Artinya : Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang adzab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang zhalim: "Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit." [Ibrahim : 44]

Kemudian ia berkata:

"Wahai pelaku kezhaliman! Sesungguhnya kamu sedang berada dalam masa penangguhan yang kamu minta itu, maka manfaatkanlah sebelum akhir masa itu tiba dan bersegeralah sebelum berlalu. Batas akhir penangguhan adalah ketika kamu menemui ajal, saat sang maut datang. Ketika itu tidak berguna lagi penyesalan.

Anak Adam ibarat papan yang dipasang sebagai sasaran dari panah kematian. Siapa yang dipanah dengan anak panah-anak panahnya, tidak akan meleset. Dan bila kematian itu telah menginginkan seseorang, maka tidak akan menimpa yang lain.

Ketahuilah, sesungguhnya kebaikan yang paling besar adalah kebaikan di akhirat yang abadi dan tidak berakhir, yang kekal dan tidak fana, yang terus berlanjut dan tak kenal putus.

Hamba-hamba yang dimuliakan bertempat tinggal di sisi Allah Ta'ala di tengah segala hal yang menyenangkan diri dan menyejukkan pandangan. Mereka saling mengunjungi, bertemu, dan bernostalgia tentang hari-hari mereka hidup di dunia.

Tentramlah kehidupan mereka. Mereka telah memperoleh apa yang mereka inginkan dan meraih apa yang mereka cari, karena keinginan mereka adalah berjumpa dengan majikan Yang Maha Pemurah dan Maha Pemberi Anugerah. [2]


[Disalin ulang dari: "Wasiat Para Salaf", Penulis Syaikh Salim bin 'Ied Al Hilali, Penerjemah: Hawin Murtadho. Penerbit: At-Tibyan, Solo. Cetakan kedua: Juli 2000 M, hal.111-114]
_________
Foote Note
[1]. Dia adalah Umar bin Dzar biun Abdillah bin Zaraqah Al-Hamdani Al-Murhabi, seorang tabi'it tabi'in yang tsiqah, wafat pada tahun 135 H. Riwayat hidupnya ada dalam "Tahdzibut Tahdzib" (VII:144), "Hilyatul Auliya" (V:108) dan lain-lain
[2]. Dikeluarkan oleh Abu Nu'aim dalam 'Al-Hilyah' (V:115-116)

Senin, 25 Januari 2010

HUKUM-HUKUM KETIKA HUJAN TURUN

Oleh : Abu Shafyan Ats-Tsauri

Shalat di Rumah Ketika Hujan
An Nawawi dalam Shohih Muslim membawakan bab ‘Shalat di Rumah Ketika Hujan’, lalu beliau membawakan beberapa hadits berikut (yang sengaja kami hapus awal sanadnya).
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ فَقَالَ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ ذَاتُ مَطَرٍ يَقُولُ « أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ ».
Nafi’ berkata bahwa Ibnu Umar pernah beradzan ketika shalat di waktu malam yang dingin dan berangin. Kemudian beliau mengatakan ‘Alaa shollu fir rihaal’ [hendaklah kalian shalat di rumah kalian]. Kemudian beliau mengatakan, “Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mu’adzin ketika keadaan malam itu dingin dan berhujan, untuk mengucapkan ‘Alaa shollu fir rihaal’ [hendaklah kalian shalat di rumah kalian].” (HR. Muslim no. 1632)
حَدَّثَنِى نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ وَمَطَرٍ فَقَالَ فِى آخِرِ نِدَائِهِ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ فِى السَّفَرِ أَنْ يَقُولَ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ.
Dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwasanya dia pernah beradzan untuk shalat di malam yang dingin, berangin kencang dan hujan, kemudian dia mengatakan di akhir adzan, ‘Alaa shollu fi rihaalikum, alaa shollu fir rihaal’ [Hendaklah shalat di rumah kalian, hendaklah shalat di rumah kalian]‘. Kemudian beliau mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyuruh muadzin, apabila cuaca malam dingin dan berhujan ketika beliau bersafar (perjalanan jauh) untuk mengucapkan, ‘Alaa shollu fi rihaalikum’ [Hendaklah shalat di kendaraan kalian masing-masing]‘. (HR. Muslim no. 1633)
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلاَةِ بِضَجْنَانَ ثُمَّ ذَكَرَ بِمِثْلِهِ وَقَالَ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ. وَلَمْ يُعِدْ ثَانِيَةً أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ.
Dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwasanya beliau pernah mengumandangkan adzan di Dhojnan, -kemudian perawi menyebutkan redaksi hadits sebagaimana di atas hanya bedanya dalam riwayat ini disebutkan bahwa Ibnu Umar mengatakan, ‘Alaa shollu fii rihaalikum [Hendaklah shalat di kendaraan kalian masing-masing]‘ hanya sekali-.’ (HR. Muslim no. 1634)
Ibnu Hazm mengatakan bahwa Dhojnan adalah suatu daerah di antara Mekah dan Madinah. (Muhalla, 3/162, Maktabah Syamilah)
عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ فَمُطِرْنَا فَقَالَ « لِيُصَلِّ مَنْ شَاءَ مِنْكُمْ فِى رَحْلِهِ ».
Dari Jabir, beliau berkata, “Kami keluar untuk bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ketika hujan, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapa yang mau silahkan mengerjakan shalat di rihal [kendaraannya masing-masing]‘. (HR. Muslim no. 1636)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِى يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلاَ تَقُلْ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ قُلْ صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ – قَالَ – فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّى إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّى كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِى الطِّينِ وَالدَّحْضِ.
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, “Apabila engkau mengucapkan ‘Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ‘Hayya ‘alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ‘Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. Lalu perawi mengatakan, “Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, “Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.” (HR. Muslim no. 1637). Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas mengatakan, “Orang yang lebih baik dariku telah melakukan hal ini yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim no. 1638)
An Nawawi -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, “Dari hadits di atas terdapat dalil tentang keringanan untuk tidak melakukan shalat jama’ah ketika turun hujan sebagaimana udzur (halangan) yang lainnya. Dan shalat jama’ah (sebagaimana yang dipilih oleh Syafi’iyyah, pen) adalah shalat yang mu’akkad (betul-betul ditekankan) apabila tidak ada udzur. Dan tidak shalat jama’ah dalam kondisi seperti ini adalah suatu hal yang disyari’atkan (diperbolehkan, pen) bagi orang yang susah dan sulit melakukannya. Hal ini berdasarkan riwayat lainnya,’Hendaknya shalat bagi yang menginginkan shalat di rumahnya’.” (Lihat Syarh Shohih Muslim, 3/7, Maktabah Syamilah)
Sayid Sabiq -semoga Allah merahmati beliau- dalam Fiqh Sunnah menyebutkan salah satu sebab yang membolehkan tidak ikut shalat berjama’ah adalah cuaca yang dingin dan hujan. Lalu beliau membawakan perkataan Ibnu Baththol, “Para ulama bersepakat (ijma’) bahwa tidak mengikuti shalat berjama’ah ketika hujan deras, malam yang gelap dan berangin kencang dan udzur (halangan) lainnya adalah boleh.” (Lihat Fiqh Sunnah, I/234, Maktabah Syamilah)
Apa Saja Lafadz Adzannya?
Dari hadits-hadits yang dibawakan oleh Imam Muslim di atas dapat kita simpulkan, ada beberapa lafadz ketika kondisi hujan, dingin, berangin kencang, dan tanah yang penuh lumpur baik ketika mukim maupun safar:
1. أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ (‘Alaa shollu fir rihaal’ artinya ‘Hendaklah shalat di rumah (kalian)’)
2. أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ (‘Alaa shollu fir rihaal’ artinya ‘Hendaklah shalat di rumah kalian’)
3. صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ (‘Sholluu fii buyutikum’ artinya ‘Sholatlah di rumah kalian’)
Lalu Dimanakah Letak Lafadz ‘Ala Shollu Fii Buyuthikum’?
Letak ketiga lafadz di atas bisa di tengah adzan (menggantikan lafadz ‘hayya ‘alash sholah’) atau pun di akhir adzan.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau mengucapkan ‘Alaa shollu fii rihalikum’ di tengah adzan. Dan dalam hadits Ibnu Umar, beliau mengucapkan lafadz ini di akhir adzannya. Dan dua cara seperti ini dibolehkan, sebagaimana perkataan Imam Syafi’i -rahimahullah- dalam kitab Al Umm pada Bab Adzan, begitu juga pendapat ini diikuti oleh mayoritas sahabat kami (ulama-ulama Syafi’iyyah, pen). Lafadz ini boleh diucapkan setelah adzan maupun di tengah-tengah adzan karena terdapat dalil mengenai dua model ini. Akan tetapi, sesudah adzan lebih baik agar lafadz adzan yang biasa diucapkan tetap ada. Di antara sahabat kami (ulama syafi’iyyah, pen) yang mengatakan bahwa lafadz ini tidak boleh diucapkan kecuali setelah adzan. Pendapat seperti ini lemah karena bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas yang jelas-jelas tegas. Dan tidak ada pertentangan antara hadits Ibnu Abbas dan hadits Ibnu Umar. Karena hadits yang satu dilakukan pada satu waktu dan hadits lain pada waktu lainnya. Kesimpulannya kedua cara ini benar.” (Lihat Syarh Shohih Muslim, 3/7, Maktabah Syamilah)
Jama’ Shalat Ketika Hujan
Imam Malik dalam Al Muwatho’ mengatakan dari Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar, apabila para amir (imam shalat, ed) menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ ketika hujan, beliau menjama’ bersama mereka. (Dikatakan Shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Mukhtashor Irwa’il Gholil, hadits no. 583)
Hisam bin Urwah mengatakan bahwa sesungguhnya ayahnya (Urwah), Sa’id bin Al Musayyib, dan Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Al Harits bin Hisyam bin Al Mughiroh Al Makhzumi biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ pada malam yang hujan apabila imam menjama’nya. Dan mereka tidak mengingkari hal tersebut.” (Muwatho’ Imam Malik. Dikatakan Shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)
Dari Musa bin Uqbah, sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ ketika hujan. Dan Sa’id bin Al Musayyib, Urwah bin Zubair, Abu Bakr bin Abdur Rahman, dan para ulama ketika itu, mereka shalat bersama para amir (baca: imam shalat) dan mereka tidak mengingkarinya. (Riwayat Al Baihaqi, dikatakan Shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)
Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat Dzuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’ secara jama’, bukan dalam keadaan takut maupun safar.” Beliau juga berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Dzuhur dan Ashar begitu juga Maghrib dan Isya di Madinah bukan dalam keadaan takut maupun hujan.”
Hal ini menandakan bahwa jama’ ketika hujan sudah ma’ruf (dikenal) di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya tidak demikian, maka tidak ada faedah meniadakan hujan seperti sebab menjama’ shalat. (Lihat Al Wajiz fii Fiqhis Sunnah, hal. 136, Dar Ibnu Rojab)
Catatan: Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh mengqoshor shalat dalam keadaan hujan, yang dibolehkan adalah hanya menjama’ saja kalau kondisinya adalah mukim (bukan safar). Mengqoshor shalat merupakan keringanan ketika safar saja. Wallahu waliyyut taufiq.” (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 12/236)
Tidak Boleh Bermudah-mudahan untuk Menjama’ Shalat Ketika Hujan
Dalam khutbah Jum’at pada tanggal 13/7/1412 H, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, “Tidak boleh seorang muslim mengerjakan shalat sebelum waktunya berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Barangsiapa yang melakukan demikian dengan sengaja, maka dia telah berdosa dan shalatnya bathil (tidak sah). Barangsiapa yang melakukan demikian karena tidak tahu (jahil), maka dia tidak berdosa, akan tetapi dia harus mengulangi shalatnya karena shalat yang dia lakukan sebelum waktunya hanya termasuk shalat nafilah (sunnah). Termasuk mengerjakan shalat sebelum waktunya adalah menjama’ shalat Ashar di waktu Dzuhur atau shalat Isya di waktu Maghrib tanpa udzur (alasan) syar’i yang memperbolehkan untuk menjama’ shalat. Perbuatan seperti ini termasuk melanggar aturan Allah dan menentang hukum-Nya karena hal ini berarti telah meremehkan perkara yang wajib yang merupakan bagian dari rukun Islam. Perbuatan semacam ini termasuk dosa besar. Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu telah menyatakan,
(ثَلَاثٌ مِنَ الكَبَائِرِ: الجَمْعُ بَيْنَ صَلَّاتَيْنِ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ، وَالنَّهْبِ، وَالفِرَارِ مِنَ الزَحْفِ )
“Tiga perkara yang termasuk dosa besar: [1] Menjama’ dua shalat tanpa ada udzur (alasan), [2] Merampok, dan [3] Lari dari pertempuran.”
Dan sebagian orang menganggap remeh masalah ini, mereka malah menjama’ shalat Dzuhur dan Ashar serta shalat Maghrib dan Isya tanpa ada udzur. Imam Muslim berkata dalam kitab shohihnya (dari Ibnu Abbas, pen), “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Dzuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena hujan atau bukan dalam keadaan takut.” Lalu ada yang mengatakan (pada Ibnu Abbas, pen), “Apa yang Rasulullah inginkan dari hal ini?” Beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin menyulitkan umatnya.” Jika kita betul-betul memperhatikan hadits ini akan jelas bahwa apabila hanya sekedar hujan, bukan merupakan alasan untuk menjama’ shalat, bahkan ini tidak termasuk udzur (alasan) sampai seseorang mendapatkan kesulitan ketika tidak menjama’. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan mengenai hadits Ibnu Abbas ini, “Jama’ yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah untuk menghilangkan kesulitan dari umatnya. Jama’ diperbolehkan apabila ketika tidak menjama’ akan mendapatkan kesulitan padahal Allah telah menghilangkan kesulitan dari umat-Nya.” Berdasarkan penjelasan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah maka jelaslah bahwa tidak boleh seseorang menjama’ shalat hingga mendapatkan kesulitan kalau tidak menjama’nya.
Ukuran Hujan yang Memperbolehkan Jama’
Dalam lanjutan khutbah di atas, Syaikh Al Utsaimin rahimahullah mengatakan: Dan telah dijelaskan oleh para ulama rahimahullah bahwa hujan yang membolehkan seseorang menjama’ dan meninggalkan shalat jama’ah adalah hujan yang menimbulkan kesulitan. Dikatakan Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni, 2/375, “Hujan yang dibolehkan seseorang menjama’ shalat adalah yang membasahi pakaian dan menimbulkan kesulitan ketika keluar pada saat hujan. Adapun hujan gerimis (rintik-rintik) yang tidak membasahi pakaian maka tidak dibolehkan untuk menjama’ shalat. Adapun semata-mata jalan yang berlumpur (karena sebelumnya telah turun hujan, ed), maka terdapat perselisihan dalam ulama mazhab (Hambali, pen) dan di antara sahabat Imam (Ahmad, pen), apakah termasuk alasan yang bisa dibenarkan untuk menjama’ shalat ataukah bukan? Yang benar kondisi seperti ini termasuk alasan yang dibenarkan ketika memang menimbulkan kesulitan.” (Dinukil dari Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Utsaimin, 15/243-244, Maktabah Syamilah)
Dalam Kifayatul Akhyar, kitab fiqh bermazhab Syafi’i (1/117-118, Dar al Fikr) disebutkan, “Orang yang tidak bepergian jauh dibolehkan untuk menjama’ shalat pada waktu pertama dari shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ dikarenakan hujan, menurut pendapat yang benar. Meski ada juga yang berpendapat bahwa menjama’ karena hujan hanya berlaku untuk shalat Maghrib dan Isya’ karena kondisi ketika malam itu memang lebih merepotkan. Hukum ini disyaratkan jika shalat dikerjakan di suatu tempat yang seandainya orang itu berangkat ke sana akan kehujanan sehingga pakaiannya menjadi basah. Demikian persyaratannya menurut Ar Rafii dan An Nawawi. Namun yang benar meski hujan tidak terlalu deras asalkan membasahi pakaian. Sedangkan Qodhi Husain memberi syarat tambahan yaitu alas kaki juga menjadi basah sebagaimana pakaian. Al Mutawalli juga menyebutkan hal yang serupa dalam kitab At Tatimmah.
Sebagaimana dibolehkan menjama’ shalat Zhuhur dengan Ashar karena hujan, juga dibolehkan menjama’ shalat Jum’at dengan Ashar”. [ed]
Syaikh Al Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanyakan, “Apabila langit mendung namun hujan belum turun, jalan-jalan juga tidak berlumpur, akan tetapi hujan diharapkan (diperkirakan) terjadi, bolehkah menjama’ shalat?” Syaikh rahimahullah menjawab, “Tidak boleh menjama’ dalam kondisi seperti ini karena sesuatu yang hanya perkiraan adalah sesuatu yang belum pasti terjadi. Dan betapa banyak perkiraan manusia akan terjadi hujan dengan semakin tebalnya awan, ternyata awan menghilang dan tidak jadi turun hujan.” (Dinukil dari Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Utsaimin, 15/244, Maktabah Syamilah)
Ketika Jama’: Adzan Cukup Sekali, Iqomah 2x
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ
“Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khondaq hingga malam hari telah sangat gelabp Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk adzan. Kemudian Bilal iqomah dan beliau menunaikan shalat Dzuhur. Kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Ashar. Kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Maghrib. Dan kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Isya.” (HR. An Nasa’i. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)
Ingat! Jama’nya adalah dengan Imam di Masjid, Bukan di Rumah
Dari Fatawal Lajnah no. 4554 terdapat pertanyaan, “Apa hukum menjama’ shalat di rumah ketika hujan atau cuaca dingin apabila kami adalah jama’ah? Yang kami ketahui bahwa jama’ hanya di masjid bukan di rumah.”
Jawab: “Yang dibolehkan adalah para jama’ah masjid menjama’ apabila mendapatkan sesuatu yang membolehkan untuk menjama’ (seperti hujan, pen) untuk memperoleh pahala shalat berjama’ah dan untuk memberi kemudahan bagi banyak orang. Hal ini berdasarkan hadits yang shohih. Adapun menjama’ dengan berjama’ah di suatu rumah karena ada udzur yang telah disebutkan maka tidak diperbolehkan. Karena tidak adanya dalil dalam syari’at yang suci ini dan tidak adanya udzur yang menyebabkan boleh untuk menjama’ shalat. Wa billahit taufiq wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam.” (Lihat Fatawal Lajnah Ad Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Iftaa’, 10/113, Maktabah Syamilah)
Boleh Untuk Tidak Shalat Jum’at
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, “Apabila engkau mengucapkan ‘Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ‘Hayya ‘alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ‘Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian].” Lalu perawi mengatakan, “Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut.” Lalu Ibnu Abbas mengatakan, “Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.” (HR Muslim no 1637)
Dari hadits Ibnu Abbas ini terdapat dalil mengenai gugurnya kewajiban shalat Jum’at ketika hujan. An Nawawi berkata,
وَفِي هَذَا الْحَدِيث دَلِيل عَلَى سُقُوط الْجُمُعَة بِعُذْرِ الْمَطَر وَنَحْوه ، وَهُوَ مَذْهَبنَا وَمَذْهَب آخَرِينَ ، وَعَنْ مَالِك رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى خِلَافه . وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ .
“Dalam hadits ini terdapat dalil mengenai gugurnya kewajiban shalat Jum’at karena udzur (halangan) hujan dan semacamnya. Dan inilah pendapat madzhab kami (Syafi’iyyah, pen) dan madzhab lainnya. Dan yang menyelisihi pendapat ini adalah Imam Malik rahimahullah. Wallahu ta’ala a’lam bish showab.” (Lihat Syarh Shohih Muslim, 3/8, Maktabah Syamilah)
Bolehkah Menjama’ Shalat Jum’at dan Ashar?
Syaikh Ibnu Baz pernah ditanyakan mengenai hal ini di majelis beliau di Riyadh. Beliau mengatakan bahwa tidak boleh menjama’ shalat Ashar dan shalat Jum’at ketika hujan atau alasan lainnya. Karena yang demikian tidak terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari para sahabat sebatas yang kami ketahui. Karena Shalat Jum’at tidak boleh diqiyaskan dengan shalat Dzuhur. Dan Shalat Jum’at adalah ibadah tersendiri. Ibadah adalah tauqifiyyah, tidak boleh membuat perkara baru dengan hanya sekedar berlandaskan pada akal. Semoga Allah memberikan kita taufik dalam memahami agama ini dan istiqomah di atasnya. Innahu sami’un qoriib. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 12/249, Maktabah Syamilah)
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

***
Referensi :

Tulisan ini di ambil dari Karya Ustaadunii : Abu Isma’il Muhammad Abduh Tuasikal
Semoga Allah menjaga beliau dan memudahkan segala urusannya

HUKUM MENJAMAK SHALAT KARENA HUJAN

Oleh : Abu Shafyan Ats-Tsauri

Pengantar
Segala puji hanya milik Alloh, sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rosululloh beserta para sahabat dan pengikut mereka yang setia hingga akhir masa. Amma ba’du.
Sholat adalah ibadah yang sangat mulia, yang menjadi standar lahiriyah tegaknya agama pada diri seorang hamba. Sebagaimana telah diketahui bahwa suatu ibadah tidak akan diterima kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlash dan ittiba’. Ikhlash artinya mempersembahkan ibadah tersebut hanya untuk Alloh saja, sedangkan ittiba’ maknanya melaksanakannya sesuai tata cara yang dituntunkan oleh Nabi.
Dan patut disayangkan keadaan kaum muslimin sekarang ini yang sangat malas menekuni ilmu agama, sehingga berbagai kesalahan yang terkait dengan ibadah sholat ini pun terjadi dimana-mana. Disamping itu ketidakpahaman (baca: kebodohan) ini akhirnya juga menyebabkan sebagian sunnah (ajaran) Nabi ditinggalkan dan menjadi terasa asing di tengah ummat Islam sendiri, Wallohul musta’aan (Alloh lah tempat kita meminta pertolongan).
Oleh karena itulah sudah menjadi suatu keharusan bagi para imam untuk membimbing jama’ah yang dipimpinnya supaya mengetahui dan berusaha mengamalkan sunnah-sunnah Nabi yang ditinggalkan manusia (As Sunan Al Mahjuurah). Dengan memohon pertolongan dari Alloh Subhanahu wa ta’ala melalui risalah yang ringkas ini kami akan menyampaikan beberapa keterangan para ulama’ mengenai salah satu sunnah Nabi yang ditinggalkan manusia yaitu melakukan jamak antara maghrib dengan ‘isyak tatkala hujan turun. Semoga Alloh menjadikan amal ini ikhlash dan bermanfaat bagi para hamba.
Pengertian Menjamak Sholat
Menjamak adalah menggabungkan salah satu diantara dua sholat dengan sholat yang lainnya. Pengertian ini sudah mencakup jamak taqdim maupun jamak ta’khir. Pada pernyataan ‘menggabungkan salah satu sholat dengan sholat yang lainnya’ yang dimaksud dengan pengertian ini adalah sholat yang boleh digabungkan/dijamak antara keduanya, maka tidaklah termasuk dalam pengertian ini misalnya menggabungkan antara sholat ‘ashar dengan sholat maghrib; (itu tidak boleh dikerjakan-pent) karena jenis sholat maghrib berbeda dengan jenis sholat ‘ashar, sholat ‘ashar termasuk sholat nahariyah (yang dikerjakan di waktu siang) sedangkan sholat maghrib termasuk jenis sholat lailiyah (yang dikerjakan di waktu malam). Begitu pula tidak termasuk dalam pengertian ini menggabungkan antara sholat ‘Isyak dengan sholat Fajar (shubuh-pent), karena waktu keduanya terpisah satu sama lain (Syarhul Mumti’ karya Syaikh Al Utsaimin, jilid 4 halaman 547. Kitab Sholat: Bab Sholatnya orang yang mendapat udzur).
Penyebab Dijamaknya Sholat
Secara umum ada tiga sebab yang membolehkan seseorang melakukan jamak yaitu: karena safar (bepergian), karena hujan dan karena suatu kebutuhan tersendiri (bukan karena safar atau hujan) (lihat Al Wajiz fii Fiqhi Sunnati wal Kitabil ‘Aziiz karya Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi, penerbit Daar Ibnu Rajab cetakan I halaman 139-141).
Selain tiga sebab di atas ada juga sebab yang lain yaitu karena sakit yang menyebabkan dia susah untuk mengerjakan kedua sholat itu secara terpisah, karena tanah sepanjang perjalanan menuju Masjid dipenuhi lumpur sehingga menyulitkan perjalanan ke sana atau karena tiupan angin dingin yang sangat keras sehingga menghambat perjalanan ke masjid.
Syaikh Al Utsaimin menyimpulkan bahwa sebab yang membolehkan jamak adalah: safar, sakit, hujan, timbunan lumpur, angin dingin yang bertiup kencang, akan tetapi bukan berarti sebabnya hanya lima perkara ini saja, karena itu sekedar contoh bagi pedoman umum (yang membolehkan jamak-pent) yaitu karena disebabkan adanya al masyaqqah (kesulitan yang menimpa orang yang hendak sholat-pent). Oleh karena itu pula seorang wanita yang terkena istihadhah (penyakit keluarnya darah dari kemaluan wanita secara terus menerus -pent) diperbolehkan untuk menjamak antara sholat Zhuhur dengan ‘Ashar atau antara sholat Maghrib dengan sholat ‘Isyak karena kesulitan yang menimpanya jika harus berwudhu untuk setiap kali hendak sholat. Begitu juga dibolehkan jamak bagi seorang musafir apabila sumber air (untuk wudhu-pent) letaknya amat jauh sehingga menyulitkannya apabila harus pergi ke sana setiap kali hendak sholat (diringkas dari Syarhul Mumti’ halaman 553-559).
Hukum Menjamak Sholat
Di antara beberapa perbedaan pendapat yang ada maka pendapat yang benar adalah bahwasanya hukum menjamak sholat adalah Sunnah apabila memang terdapat sebab yang membolehkannya. Hal ini disebabkan 2 alasan:
1. Pertama, menjamak adalah termasuk keringanan (rukshsoh) yang dikaruniakan oleh Alloh ‘Azza wa Jalla, sedangkan Alloh Ta’ala senang apabila rukhshohnya diambil.
2. Kedua, karena dalam perbuatan ini (menjamak-pent) terkandung sikap meneladani Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, beliau pun melakukan jamak ketika ada sebab yang membolehkan untuk itu.
Dan bahkan sangat mungkin perkara ini termasuk dalam keumuman sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat sholat yang kulakukan.” (HR. Bukhori) (disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 548-549).
Menjamak Sholat Ketika Turun Hujan
Sebagaimana telah disinggung di atas, turunnya hujan merupakan salah satu sebab yang membolehkan (baca: hukumnya sunnah) kita menjamak sholat Maghrib dengan sholat ‘Isyak. Hujan yang dimaksud di sini adalah hujan yang sampai membuat pakaian yang terkena menjadi basah karena air hujan yang jatuh banyak dan cukup deras, adapun hujan yang sedikit (baca: gerimis) yang tidak membuat baju menjadi basah maka tidak boleh menjamak sholat karenanya (diringkas dari Syarhul Mumti’ halaman 555).
Bolehnya menjamak ketika turun hujan didasari beberapa riwayat yang bersumber dari Sahabat maupun tabi’in (murid sahabat) serta tabi’ut tabi’in (murid tabi’in) berikut ini:
1. Dari Nafi’ (seorang tabi’in) dia menceritakan bahwasanya Abdulloh ibnu Umar dahulu apabila para pemimpin pemerintahan (umara’) menjamak antara sholat Maghrib dengan ‘isyak pada saat hujan turun maka beliaupun turut menjamak bersama mereka.
2. Dari Musa bin ‘Uqbah, dia menceritakan bahwasanya dahulu Umar bin Abdul ‘Aziz pernah menjamak antara sholat Maghrib dengan sholat ‘Isyak apabila turun hujan, dan sesungguhnya Sa’id ibnul Musayyib (tabi’in), Urwah bin Zubeir, Abu Bakar bin Abdurrohman serta para pemuka (ahli ilmu) pada zaman itu senantiasa sholat bersama mereka dan tidak mengingkari perbuatan tersebut.
3. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallohu ‘anhuma, beliau menceritakan: Bahwa dahulu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak antara sholat Zhuhur dengan ‘Ashar dan antara sholat Maghrib dengan ‘Isyak di kota Madinah dalam keadaan bukan karena situasi takut dan bukan karena hujan. Maka Ibnu ‘Abbas pun ditanya ‘Untuk apa beliau (Nabi) melakukan hal itu ?’ maka Ibnu ‘Abbas menjawab: ‘Beliau bermaksud agar tidak memberatkan ummatnya.’ (HR. Muslim dan lain-lain)
Syaikh Al Albani rohimahulloh mengatakan: (dalam perkataan Ibnu Abbas ini -pent) Seolah-olah beliau menyampaikan bahwasanya menjamak karena hujan adalah perkara yang sudah ma’ruf (dikenal) di masa hidup Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, kalaulah tidak karena latar belakang itu lalu manfaat apa yang bisa dipetik dari penafian hujan sebagai sebab yang membolehkan beliau untuk menjamak (Irwa’ul Ghalil, silakan lihat di Al Wajiz fii Fiqhi Sunnati wal Kitabil ‘Aziiz halaman 140-141, Kitab Sholat).
Lebih Utama Mana: Jamak Taqdim Ataukah Ta’khir ?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin mengatakan: “Yang lebih utama adalah melakukannya dengan jamak taqdim (di waktu sholat yang pertama/maghrib -pent); karena yang demikian itu lebih mencerminkan sikap lemah lembut kepada manusia, karena itulah anda akan jumpai bahwa orang-orang semuanya pada saat hujan turun tidak melakukan jamak kecuali dengan cara jamak taqdim.” (Syarhul Mumti’ halaman 563).
Bagaimana Kalau Hujan Berhenti di Tengah Sholat ‘Isyak ?
Memang apabila di awal pelaksanaan sholat ‘Isyak yang dijamak disyaratkan keadaan masih hujan, adapun apabila sholat ‘Isyak sudah dilakukan kemudian di tengah-tengah tiba-tiba hujan berhenti maka tidaklah disyaratkan hal itu terus menerus ada sampai selesainya sholat yang kedua (‘Isyak). Demikian pula berlaku untuk sebab yang lainnya. Misalnya apabila ada seseorang yang karena sakitnya terpaksa harus menjamak sholat kemudian tiba-tiba di tengah sholatnya sakit yang dideritanya menjadi hilang maka jamak yang dilakukannya tidak menjadi batal; karena keberadaan udzur secara terus menerus hingga selesainya (sholat) kedua tidaklah dipersyaratkan (Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 574).
Bolehkah Orang Yang Sholat di Rumah Menjamak ?
Apabila hujan turun maka seorang muslim yang wajib menunaikan sholat jama’ah (baca: kaum lelaki) dibolehkan menjamak sholat (apabila dia bersama imam di masjid -pent) atau sholat di rumahnya (karena hujan termasuk uzdur/penghalang yang membolehkan untuk tidak menghadiri sholat jama’ah di masjid -pent).
Jamak tetap boleh dilakukan (di masjid) walaupun jalan yang dilaluinya untuk mencapai masjid sudah terlindungi dengan atap (sehingga tidak sulit baginya menghadiri jama’ah sholat ‘Isyak nantinya ketika hujan belum reda -pent) hal ini supaya dia tidak kehilangan (pahala) sholat berjama’ah.
Adapun apabila dia sholat di rumahnya karena sakit (atau karena udzur lain -pent) sehingga tidak bisa hadir di masjid maka dia tidak boleh menjamak; karena tidak ada manfaat yang bisa dipetiknya dengan jamak tersebut (karena kewajibannya sudah gugur dengan udzur-nya tersebut-pent). Adapun kaum wanita (yang ada di rumah), maka tidak boleh menjamak sholat karena hujan sebab tidak ada manfaat yang bisa dipetiknya dengan menjamak itu, dan karena mereka bukan termasuk orang yang diwajibkan menghadiri sholat berjama’ah. (Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 560).
Berapa Jarak Antara Dua Sholat Yang Dijamak ?
Termasuk syarat dilakukannya sholat jamak ini adalah tidak boleh ada jeda waktu panjang yang memisahkan antara keduanya, sehingga harus dikerjakan secara berturut-turut. Meskipun dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh tidak mempersyaratkan demikian, dan pendapat beliau cukup kuat. Namun yang lebih hati-hati adalah tidak menjamak apabila tidak bersambung/berurutan langsung. Jeda waktu yang diperbolehkan (menurut yang mempersyaratkannya) adalah hanya sekadar ukuran lamanya iqomah dikumandangkan (karena tidak ada lagi adzan sebelum sholat ‘Isyak -pent) atau seukuran waktu yang dibutuhkan untuk wudhu ringan.
Dan perlu ditambahkan pula bahwasanya kalau seandainya ada orang yang sesudah sholat Maghrib justeru mengerjakan sholat sunnah rowatib (ba’diyah maghrib) maka tidak ada lagi sholat jamak yang bisa dilakukannya karena ketika itu dia telah menjadikan sholat yang dilakukannya tadi (sunnah rowatib) sebagai pemisah antar keduanya (sholat Maghrib dan ‘Isyak) (Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 567-569).
Demikianlah yang bisa kami sampaikan, apabila ada kesalahan mohon segera sampaikan kritikan dan koreksinya. Wallohu a’lam bish showaab.
Perhatian:
Penyebutan Maghrib dan ‘Isyak ini adalah contoh saja, karena Zhuhur dan ‘Ashar pun boleh dijamak jika ada sebab yang membolehkannya, diantaranya karena hujan.
Rujukan:
1. Syarhul Mumti’ karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, jilid 4
2. Al Wajiz fii Fiqhi Sunnati wal Kitabil ‘Aziiz karya Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi, penerbit Daar Ibnu Rajab cetakan I

Kamis, 21 Januari 2010

MENEPIS ANGGAPAN SHAFAR ADALAH BULAN SIAL/APES

Sebagaimana bulan Muharram (Jawa: Suro) itu diyakini sebagai bulan yang keramat dan membawa sial, maka muncul pula anggapan bahwa bulan Shafar adalah bulan yang membawa sial, naas, dan penuh dengan malapetaka. Karena bulan sial, maka tidak boleh mengadakan hajatan pada bulan tersebut, atau melakukan pekerjaan-pekerjaan penting lainnya karena akan mendatangkan bencana, atau kegagalan dalam pekerjaannya itu.
Sungguh sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin di negeri ini pun justru terpengaruh oleh keyakinan yang merupakan warisan dari tradisi Paganisme Jahiliyyah para penyembah berhala itu.
Menganggap sial waktu-waktu tertentu, atau hewan-hewan tertentu, atau sial karena melihat adanya peristiwa dan mimpi tertentu sebenarnya hanyalah khayalan dan khurafat belaka. Itu merupakan sebuah keyakinan yang menunjukkan dangkalnya aqidah dan tauhid orang-orang yang mempercayai keyakinan tersebut.
Alhamdulillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diutus oleh Allah subhanahu wata’ala dengan membawa misi utama berdakwah kepada tauhid dan memberantas segala bentuk kesyirikan telah menepis anggapan dan keyakinan yang bengkok tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ.
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, dan tidak ada kesialan pada bulan Shafar.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak keyakinan orang-orang Musyrikin Jahiliyyah yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial, mereka mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan bencana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menepis kebenaran anggapan tersebut. Bulan Shafar itu seperti bulan-bulan lainnya. Padanya ada kebaikan, ada juga kejelekan. Bulan Shafar tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Bulan tersebut sama seperti waktu-waktu lainnya yang telah Allah subhanahu wata’ala jadikan sebagai kesempatan untuk melakukan amal-amal yang bermanfaat.
Keyakinan ini terus menerus ada pada sebagian umat Islam hingga hari ini. Ada di antara mereka yang menganggap sial bulan Shafar, ada yang menganggap sial hari-hari tertentu, seperti hari Rabu, atau hari Sabtu, atau hari-hari lainnya. Sehingga pada hari-hari tersebut mereka tidak berani melangsungkan pernikahan atau hajatan yang lain, karena mereka meyakini atau menganggap bahwa pernikahan pada hari-hari tersebut bisa menyebabkan ketidakharmonisan rumah tangga.
Ada pula yang berkeyakinan kalau mendengar burung gagak, melihat burung hantu, berpapasan dengan kucing hitam, atau yang lainnya, maka sebentar lagi akan celaka, atau akan ada orang meninggal, atau yang lainnya, dan seterusnya dari anggapan-anggapan negatif.
Anggapan Sial Terhadap Waktu-Waktu Tertentu Adalah Kesyirikan
Dalil-dalil yang ada di dalam Al-Qu’an dan hadits demikian jelas menyatakan keharaman kebiasaan tersebut. Perbuatan atau anggapan sial seperti itu termasuk kesyirikan dan tidak ada pengaruhnya dalam memberikan kemanfaatan atau menolak kemudharatan, karena tidak ada yang mampu memberikan manfaat dan menimpakan madharat kecuali Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ.
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan (manfaat) bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya tersebut.” (QS. Yunus: 107)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجَتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ.
“Dan ketahuilah, seandainya umat manusia berkumpul untuk memberikan kemanfaatan bagimu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat memberikan kemanfaatan bagimu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan sebaliknya, jika mereka semua berkumpul untuk memudharatkanmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak dapat menimpakan kemudharatan tersebut kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.” (HR. At-Tirmidzi)
Perbuatan menganggap sial waktu-waktu tertentu, atau menganggap datangnya bencana dengan berdasarkan apa yang dia lihat, dia dengar, atau dia rasakan, maka ini dinamakan tathayyur atau thiyarah.
Thiyarah Adat Jahiliyyah
Secara bahasa (etimologi), thiyarah atau tathayyur merupakan bentuk mashdar dari kata / kalimat تَطَيَّرَ (tathayyara). Dan asalnya diambil dari kata اَلطَّيْرُ (ath-thairu) yang berarti burung, karena musyrikin Arab Jahiliyyah dahulu melakukan thiyarah dengan menggunakan burung, yaitu dengan cara melepaskan seekor burung yang kemudian dilihat ke mana arah terbangnya burung tersebut. Kalau terbang ke arah kanan, berarti ini tanda keberuntungan sehingga dia pun berangkat meneruskan pekerjaannya. Dan sebaliknya, kalau ternyata burung tersebut terbang ke arah kiri, maka ini tanda kesialan sehingga dia menghentikan atau membatalkan pekerjaannya tersebut.
Adapun secara istilah (terminologi) syari’at, thiyarah atau tathayyur adalah beranggapan sial atau merasa akan bernasib naas berdasarkan/disebabkan sesuatu yang dia lihat, dia dengar, atau waktu-waktu tertentu. Penggunaan istilah thiyarah atau tathayyur ini lebih meluas daripada sekedar beranggapan sial dengan menggunakan burung. Sehingga setiap orang yang beranggapan atau merasa bernasib sial dengan berdasarkan hal-hal tersebut, maka dia telah terjatuh kepada perbuatan thiyarah walaupun tidak dengan menggunakan burung.
Berikut beberapa contoh perbuatan thiyarah berdasarkan sebabnya:
1. Karena sesuatu yang dilihat
Seperti melihat kucing hitam, melihat burung hantu, melihat kecelakaan, melihat orang gila, dan yang lainnya kemudian dia beranggapan nanti akan mengalami nasib yang naas.
2. Karena sesuatu yang didengar
Seperti mendengar suara burung gagak, lolongan anjing, atau ketika hendak berdagang, dia mendengar orang yang memanggilnya: ‘Wahai Si Rugi’, yang kemudian dengan sebab itu dia mengurungkan niatnya untuk berjualan.
3. Karena waktu-waktu tertentu
Seperti menganggap sial hari-hari tertentu (Jum’at Kliwon, Rabu Pon, dan lainnya), atau bulan-bulan tertentu (Muharram, Shafar, dan lainnya), atau tahun-tahun tertentu.
Dan termasuk thiyarah pula adalah menganggap sial angka-angka tertentu, seperti angka tiga belas. Dan ini seperti anggapan sial orang-orang sesat dari kalangan Syi’ah Rafidhah terhadap angka sepuluh. Mereka tidak suka dengan angka ini karena kebencian dan permusuhan mereka terhadap Al-’Asyrah Al-Mubasysyarina bil Jannah (sepuluh shahabat yang diberi kabar gembira masuk Al-Jannah). Yang demikian itu disebabkan kebodohan dan kedunguan akal mereka.
Demikian pula ahli nujum (ramalan bintang/zodiak atau yang semisalnya), mereka membagi waktu menjadi waktu naas dan sial, serta waktu bahagia dan baik. Tidaklah samar lagi bahwa ramalan bintang seperti ini adalah haram dan termasuk jenis sihir.
Pelaku thiyarah sesungguhnya telah bergantung/bersandar kepada sesuatu yang tidak ada hakekatnya, bahkan hal itu hanya merupakan sebuah dugaan dan khayalannya saja. Antara sesuatu yang dia berthiyarah kepadanya dengan kejadian yang menimpanya tidaklah memiliki hubungan apa-apa. Bagaimana bisa bulan Muharram, bulan Shafar, hari Rabu, Sabtu, mendengar burung hantu atau burung gagak, dan yang lainnya menjadi penentu nasib seseorang? Hal ini jelas dapat merusak aqidah dan tauhid seseorang yang meyakininya, karena dapat memalingkan tawakkal dia kepada selain Allah subhanahu wata’ala.
Seseorang yang membatalkan rencananya untuk mengadakan hajatan, atau mengurungkan niatnya untuk bepergian karena thiyarah yang dia lakukan, berarti ia telah mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk ke dalamnya. Dia telah menghilangkan tawakkalnya kepada Allah subhanahu wata’ala dan membuka pintu bagi dirinya untuk takut kepada selain Allah subhanahu wata’ala dan bergantung kepada selain Ash-Shamad (Dzat Maha Tempat Bergantung). Sehingga pelaku thiyarah telah menyimpang dari apa yang Allah subhanahu wata’ala firmankan:
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ.
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Al-Ma’idah: 23)
Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan dan menegaskan kepada kita bahwa thiyarah termasuk kesyirikan sebagaimana dalam sabdanya:
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ.
“Thiyarah adalah kesyirikan, thiyarah adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Obat dari Penyakit Ini
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ عَنْ حَاجَتِهِ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: فَمَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ : أَنْ تَقُوْلَ : اَللّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ، وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ.
“Barangsiapa yang keperluannya tidak dilaksanakan disebabkan berbuat thiyarah, maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan. Para shahabat bertanya: Bagaimana cara menghilangkan anggapan (thiyarah) seperti itu? Beliau bersabda: Hendaknya engkau mengucapkan (do’a):
اَللّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ، وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ.
“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali itu datang dari Engkau, tidak ada kejelekan kecuali itu adalah ketetapan dari Engkau, dan tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani).
Selain itu, thiyarah dapat dihilangkan dengan berusaha untuk tawakkal kepada Allah subhanahu wata’ala saja. Bergantung hanya kepada-Nya dalam rangka meraih apa yang diinginkan dan menghindari dari sesuatu yang tidak diinginkan, serta mengiringi itu semua dengan usaha dan amal yang tidak menyelisihi syari’at.
Apapun yang menimpa kita baik berupa kesenangan, kelapangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, kita meyakini bahwa itu semua merupakan kehendak Allah subhanahu wata’ala yang penuh dengan keadilan dan hikmah-Nya.
Sumber:
Kitab At-Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab.
Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabi At-Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin.
Al-Khuthab Al-Minbariyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan.
Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh.
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’.
Ditulis oleh Abu Abdillah Kediri.

Jumat, 15 Januari 2010

KEUTAMAAN BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA DAN PAHALANYA

Oleh : Abu Shofyan

Di Antara Fadhilah (Keutamaan) Berbakti Kepada Kedua Orang Tua.Pertama.Bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah amal yang paling utama. Dengan dasar diantaranya yaitu hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim, dari sahabat Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu."Artinya : Dari Abdullah bin Mas'ud katanya, "Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang amal-amal yang paling utama dan dicintai Allah ? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, Pertama shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya), kedua berbakti kepada kedua orang tua, ketiga jihad di jalan Allah" [Hadits Riwayat Bukhari I/134, Muslim No.85, Fathul Baari 2/9]Dengan demikian jika ingin kebajikan harus didahulukan amal-amal yang paling utama di antaranya adalah birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua).Kedua.Bahwa ridla Allah tergantung kepada keridlaan orang tua. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, Ibnu HIbban, Hakim dan Imam Tirmidzi dari sahabat Abdillah bin Amr dikatakan."Artinya : Dari Abdillah bin Amr bin Ash Radhiyallahu 'anhuma dikatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ridla Allah tergantung kepada keridlaan orang tua dan murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua" [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad (2), Ibnu Hibban (2026-Mawarid-), Tirmidzi (1900), Hakim (4/151-152)]Ketiga.Bahwa berbakti kepada kedua orang tua dapat menghilangkan kesulitan yang sedang dialami yaitu dengan cara bertawasul dengan amal shahih tersebut. Dengan dasar hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Ibnu Umar."Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Pada suatu hari tiga orang berjalan, lalu kehujanan. Mereka berteduh pada sebuah gua di kaki sebuah gunung. Ketika mereka ada di dalamnya, tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dan menutupi pintu gua. Sebagian mereka berkata pada yang lain, 'Ingatlah amal terbaik yang pernah kamu lakukan'. Kemudian mereka memohon kepada Allah dan bertawassul melalui amal tersebut, dengan harapan agar Allah menghilangkan kesulitan tersebut. Salah satu diantara mereka berkata, "Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai kedua orang tua yang sudah lanjut usia sedangkan aku mempunyai istri dan anak-anak yang masih kecil. Aku mengembala kambing, ketika pulang ke rumah aku selalu memerah susu dan memberikan kepada kedua orang tuaku sebelum orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk mencari kayu bakar dan mencari nafkah sehingga pulang telah larut malam dan aku dapati kedua orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu sebagaimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang lalu aku mendatangi keduanya namun keduanya masih tertidur pulas. Anak-anakku merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan aku tidak memberikannya. Aku tidak akan memberikan kepada siapa pun sebelum susu yang aku perah ini kuberikan kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku tunggu sampai keduanya bangun. Pagi hari ketika orang tuaku bangun, aku berikan susu ini kepada keduanya. Setelah keduanya minum lalu kuberikan kepada anak-anaku. Ya Allah, seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang baik karena Engkau ya Allah, bukakanlah. "Maka batu yang menutupi pintu gua itupun bergeser" [Hadits Riwayat Bukhari (Fathul Baari 4/449 No. 2272), Muslim (2473) (100) Bab Qishshah Ashabil Ghaar Ats Tsalatsah Wat-Tawasul bi Shalihil A'mal]Ini menunjukkan bahwa perbuatan berbakti kepada kedua orang tua yang pernah kita lakukan, dapat digunakan untuk bertawassul kepada Allah ketika kita mengalami kesulitan, Insya Allah kesulitan tersebut akan hilang. Berbagai kesulitan yang dialami seseorang saat ini diantaranya karena perbuatan durhaka kepada kedua orang tuanya.Kalau kita mengetahui, bagaimana beratnya orang tua kita telah bersusah payah untuk kita, maka perbuatan 'Si Anak' yang 'bergadang' untuk memerah susu tersebut belum sebanding dengan jasa orang tuanya ketika mengurusnya sewaktu kecil.'Si Anak' melakukan pekerjaan tersebut tiap hari dengan tidak ada perasaan bosan dan lelah atau yang lainnya. Bahkan ketika kedua orang tuanya sudah tidur, dia rela menunggu keduanya bangun di pagi hari meskipun anaknya menangis. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan kedua orang tua harus didahulukan daripada kebutuhan anak kita sendiri dalam rangka berbakti kepada kedua orang tua. Bahkan dalam riwayat yang lain disebutkan berbakti kepada orang tua harus didahulukan dari pada berbuat baik kepada istri sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma ketika diperintahkan oleh bapaknya (Umar bin Khaththab) untuk menceraikan istrinya, ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Ceraikan istrimuu" [Hadits Riwayat Abu Dawud No. 5138, Tirimidzi No. 1189 beliau berkata, "Hadits Hasan Shahih"]Dalam riwayat Abdullah bin Mas'ud yang disampaikan sebelumnya disebutkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua harus didahulukan daripada jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala.Begitu besarnya jasa kedua orang tua kita, sehingga apapun yang kita lakukan untuk berbakti kepada kedua orang tua tidak akan dapat membalas jasa keduanya. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan bahwa ketika sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma melihat seorang menggendong ibunya untuk tawaf di Ka'bah dan ke mana saja 'Si Ibu' menginginkan, orang tersebut bertanya kepada, "Wahai Abdullah bin Umar, dengan perbuatanku ini apakah aku sudah membalas jasa ibuku.?" Jawab Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma, "Belum, setetespun engkau belum dapat membalas kebaikan kedua orang tuamu" [Shahih Al Adabul Mufrad No.9]Orang tua kita telah megurusi kita mulai dari kandungan dengan beban yang dirasakannya sangat berat dan susah payah. Demikian juga ketika melahirkan, ibu kita mempertaruhkan jiwanya antara hidup dan mati. Ketika kita lahir, ibu lah yang menyusui kita kemudian membersihkan kotoran kita. Semuanya dilakukan oleh ibu kita, bukan oleh orang lain. Ibu kita selalu menemani ketika kita terjaga dan menangis baik di pagi, siang atau malam hari. Apabila kita sakit tidak ada yang bisa menangis kecuali ibu kita. Sementara bapak kita juga berusaha agar kita segera sembuh dengan membawa ke dokter atau yang lain. Sehingga kalau ditawarkan antara hidup dan mati, ibu kita akan memilih mati agar kita tetap hidup. Itulah jasa seorang ibu terhadap anaknya.Keempat.Dengan berbakti kepada kedua orang tua akan diluaskan rizki dan dipanjangkan umur. Sebagaimana dalam hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim, dari sahabat Anas Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda."Artinya : Barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi" [Hadits Riwayat Bukhari 7/72, Muslim 2557, Abu Dawud 1693]Dalam ayat-ayat Al-Qur'an atau hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dianjurkan untuk menyambung tali silaturahmi. Dalam silaturahmi, yang harus didahulukan silaturahmi kepada kedua orang tua sebelum kepada yang lain. Banyak diantara saudara-saudara kita yang sering ziarah kepada teman-temannya tetapi kepada orang tuanya sendiri jarang bahkan tidak pernah. Padahal ketika masih kecil dia selalu bersama ibu dan bapaknya. Tapi setelah dewasa, seakan-akan dia tidak pernah berkumpul bahkan tidak kenal dengan kedua orang tuanya. Sesulit apapun harus tetap diusahakan untuk bersilaturahmi kepada kedua orang tua. Karena dengan dekat kepada keduanya insya Allah akan dimudahkan rizki dan dipanjangkan umur. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi bahwa dengan silaturahmi akan diakhirkannya ajal dan umur seseorang.[1] walaupun masih terdapat perbedaan dikalangan para ulama tentang masalah ini, namun pendapat yang lebih kuat berdasarkan nash dan zhahir hadits ini bahwa umurnya memang benar-benar akan dipanjangkan.Kelima.Manfaat dari berbakti kepada kedua orang tua yaitu akan dimasukkan ke jannah (surga) oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Di dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disebutkan bahwa anak yang durhaka tidak akan masuk surga. Maka kebalikan dari hadits tersebut yaitu anak yang berbuat baik kepada kedua orang tua akan dimasukkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ke jannah (surga).Dosa-dosa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala segerakan adzabnya di dunia diantaranya adalah berbuat zhalim dan durhaka kepada kedua orang tua. Dengan demikian jika seorang anak berbuat baik kepada kedua orang tuanya, Allah Subahanahu wa Ta'ala akan menghindarkannya dari berbagai malapetaka, dengan izin Allah.[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta.]_________Foote Note.[1] Riyadlush Shalihin, hadits No. 319

BATASAN TAAT KEPADA ORANG TUA

Oleh : Abu Shafyan Ats-Tsauri

Secara umum kita diperintahkan taat kepada orang tua. Wajib taat kepada kedua orang tua baik yang diperintahkan itu sesuatu yang wajib, sunnah atau mubah. Demikian pula bila orang tua melarang dari perbuatan yang haram, makruh atau sesuatu yang mubah kita wajib mentaatinya.Lebih dari itu, kita juga wajib mendahulukan berbakti kepada orang tua dari pada perbuatan wajib kifayah dan sunnah. Mengenai hal diatas para ulama telah beristimbat dari kisah Juraij yang hidup jauh sebelum masa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim."Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu katanya, "Seorang yang bernama Juraij sedang mengerjakan ibadah di sebuah sauma (tempat ibadah). Lalu ibunya datang memanggilnya, "Humaid berkata, "Abu Rafi' pernah menerangkan kepadaku mengenai bagaimana Abu Hurairah meniru gaya ibu Juraij ketika memanggil anaknya, sebagaimana beliau mendapatkannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu dengan meletakkan tangannya di bagian kepala antara dahi dan telinga serta mengangkat kepalanya, "Hai Juraij ! Aku ibumu, jawablah panggilanku'. Ketika itu perempuan tersebut mendapati anaknya sedang shalat. Dengan keraguan Juraij berkata kepada diri sendiri, 'Ya Allah, ibuku atau shalatku'. Tetapi Juraij telah memilih untuk meneruskan shalatnya. Tidak berapa lama selepas itu, perempuan itu pergi untuk yang kedua kalinya. Beliau memanggil, 'Hai Juraij ! Aku ibumu, jawablah panggilanku'. Juraij bertanya lagi kepada diri sendiri, 'Ya Allah, ibuku atau shalatku'. Tetapi beliau masih lagi memilih untuk meneruskan shalatnya. Oleh karena terlalu kecewa akhirnya perempuan itu berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya Juraij adalah anakku. Aku sudah memanggilnya berulang kali, namun ternyata ia enggan menjawabnya. Ya Allah, janganlah Engkau matikan ia sebelum ia mendapat fitnah yang disebabkan oleh perempuan pelacur'. Pada suatu hari seorang pengembala kambing sedang berteduh di dekat tempat ibadah Juraij yang letaknya jauh terpencil dari orang ramai. Tiba-tiba datang seorang perempuan dari sebuah dusun yang juga sedang berteduh di tempat tersebut. Kemudian keduanya melakukan perbuatan zina, sehingga melahirkan seorang anak. Ketika ditanya oleh orang ramai, 'Anak dari siapakah ini ?'. Perempuan itu menjawab. 'Anak dari penghuni tempat ibadah ini'. Lalu orang ramai berduyun-duyun datang kepada Juraij. Mereka membawa besi perajang. Mereka berteriak memanggil Juraij, yang pada waktu itu sedang shalat. Maka sudah tentu Juraij tidak melayani panggilan mereka, akhirnya mereka merobohkan bangunan tempat ibadahnya. Tatkala melihat keadaan itu, Juraij keluar menemui mereka. Mereka berkata kepada Juraij. 'Tanyalah anak ini'. Juraij tersenyum, kemudian mengusap kepala anak tersebut dan bertanya. 'Siapakah bapakmu?'. Anak itu tiba-tiba menjawab, 'Bapakku adalah seorang pengembala kambing'. Setelah mendengar jawaban jujur dari anak tersebut, mereka kelihatan menyesal, lalu berkata. 'Kami akan mendirikan tempat ibadahmu yang kami robohkan ini dengan emas dan perak'. Juraij berkata, 'Tidak perlu, biarkan ia menjadi debu seperti asalnya'. Kemudian Juraij meninggalkannya". [Hadits Riwayat Bukhari -Fathul Baari 6/476, dan Muslim 2550 (8)].Kisah di atas diceritakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika sedang menjelaskan tentang tiga orang yang dapat berbicara sewaktu kecil, yang pertama adalah Isa bin Maryam yang berbicara ketika masih bayi, kedua Ashabul Ukhdud yang tercantum dalam surat Al-Buruj dan ketiga adalah kisah Juraij ini.Pada hadits ini Juraij melihat wajah pelacur karena do'a ibunya setelah Juraij tidak memenuhi panggilannya dengan sebab tetap mengerjakan shalat sunnah. Para ulama beristimbat dengan hadits ini bahwa shalat sunnah harus dibatalkan untuk memenuhi panggilan ibu.Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran bahwa taat kepada kedua orang tua harus didahulukan dari ibadah sunnah, lebih ditekankan lagi apabila orang tua kita menyuruh kita untuk melakukan ibadah yang bersifat sunnah atau wajib kifayah [Bahjatun Nazhirin I/347]Ibnu Hazm berkata, "Tidak boleh jihad kecuali dengan izin kedua orang tua kecuali kalau musuh itu sudah ada di tengah-tengah kaum muslimin maka tidak perlu lagi izin" [Al-Muhalla 7/292 No. 922]Kata Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni, beliau mengatakan bahwa izin itu harus didahulukan daripada jihad kecuali kalau sudah jelas wajibnya jihad dan musuh sudah berada ditengah-tengah kita maka didahulukan jihad.Para ulama membawakan beberapa hadits bahwa selama jihad tersebut fardhu kifayah maka harus didahulukan berbakti kepada kedua orang tua. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i dari Abdullah bin Amr bin 'Ash."Artinya : Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta izin untuk jihad. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, "Apakah bapak ibumu masih hidup ?" orang itu menjawab, "Ya" maka kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Hendaklah kamu berbakti kepada keduanya" [Hadits Riwayat Bukhari, Muslim 5/2529 Abu Dawud 2529, Nasa'i, Ahmad 2/165, 188, 193, 197 dan 221]Juga yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 2549) dari Abdullah bin Amr bin 'Ash."Artinya : Ada yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Ya Rasullullah aku berbaiat kepadamu untuk hijrah dan berjihad ingin mencari ganjaran dari Allah". Kata Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup ?", kata orang tersebut "Bahkan keduanya masih hidup". "Apakah engkau mencari ganjaran dari Allah ?. "Orang itu menjawab, "Ya aku mencari ganjaran dari Allah". "Kembali kepada kedua orang tuamu, berbuat baiklah kepada keduanya". Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruhnya pulang" [Hadits Riwayat Muslim No. 2549]Dalam riwayat lain yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Nasa'i, dikatakan :"Artinya : Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Ya Rasulullah saya akan berba'iat kepadamu untuk berhijrah dan aku tinggalkan kedua orang tuaku dalam keadaan menangis". Kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Kembali kepada kedua orang tuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis" [Hadits Riwayat Abu Dawud 2528, Nasa'i dalam Kubra, Baihaqi dalam Hakim 4/152]Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasa'i dengan sanad yang hasan dari Muawiyah bin Jaa-Himah."Artinya : Jaa-Himah Radhiyallahu 'anhu datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Ya Rasulullah aku ingin perang dan aku datang kepadamu untuk musyawarah". Kemudian kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Apakah kamu masih mempunyai ibu?". Kata orang ini, "Ibu saya masih hidup". Kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Hendaklah kamu tetap berbakti kepada ibumu karena sesungguhnya surga berada di kedua telapak kaki ibu" [Hadits Riwayat Nasa'i, Hakim 2/104, 4/151, Ahmad 3/329]Dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni beliau mengatakan kenapa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang beberapa hadits ini ketika disebutkan jihad, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh anak ini untuk meminta izin kepada kedua orang tua. Kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Sesungguhnya berbakti kepada kedua orang tua adalah fardlu 'ain didahulukan daripada fardhu kifayah"[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta.]

BENTUK-BENTUK BERBAKTI KEPADA ORANG TUA

Oleh : Abu Shafyan Ats-Tsauri

Bentuk-Bentuk Berbuat Baik Kepada Kedua Orang Tua Adalah :Pertama.Bergaul dengan keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberikan kegembiraan kepada seorang mu'min termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberikan kegembiraan kepada kedua orang tua kita.Dalam nasihat perkawinan dikatakan agar suami senantiasa berbuat baik kepada istri, maka kepada kedua orang tua harus lebih dari kepada istri. Karena dia yang melahirkan, mengasuh, mendidik dan banyak jasa lainnya kepada kita.Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa ketika seseorang meminta izin untuk berjihad (dalam hal ini fardhu kifayah kecuali waktu diserang musuh maka fardhu 'ain) dengan meninggalkan orang tuanya dalam keadaan menangis, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Kembali dan buatlah keduanya tertawa seperti engkau telah membuat keduanya menangis" [Hadits Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i] Dalam riwayat lain dikatakan : "Berbaktilah kepada kedua orang tuamu" [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]Kedua.Yaitu berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya dibedakan berbicara dengan kedua orang tua dan berbicara dengan anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua, tidak boleh mengucapkan 'ah' apalagi mencemooh dan mencaci maki atau melaknat keduanya karena ini merupakan dosa besar dan bentuk kedurhakaan kepada orang tua. Jika hal ini sampai terjadi, wal iya 'udzubillah.Kita tidak boleh berkata kasar kepada orang tua kita, meskipun keduanya berbuat jahat kepada kita. Atau ada hak kita yang ditahan oleh orang tua atau orang tua memukul kita atau keduanya belum memenuhi apa yang kita minta (misalnya biaya sekolah) walaupun mereka memiliki, kita tetap tidak boleh durhaka kepada keduanya.Ketiga.Tawadlu (rendah diri). Tidak boleh kibir (sombong) apabila sudah meraih sukses atau mempunyai jabatan di dunia, karena sewaktu lahir kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan. Kedua orang tualah yang menolong dengan memberi makan, minum, pakaian dan semuanya.Seandainya kita diperintahkan untuk melakukan pekerjaan yang kita anggap ringan dan merendahkan kita yang mungkin tidak sesuai dengan kesuksesan atau jabatan kita dan bukan sesuatu yang haram, wajib bagi kita untuk tetap taat kepada keduanya. Lakukan dengan senang hati karena hal tersebut tidak akan menurunkan derajat kita, karena yang menyuruh adalah orang tua kita sendiri. Hal itu merupakan kesempatan bagi kita untuk berbuat baik selagi keduanya masih hidup.Keempat.Yaitu memberikan infak (shadaqah) kepada kedua orang tua. Semua harta kita adalah milik orang tua. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala surat Al-Baqarah ayat 215."Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka infakkan. Jawablah, "Harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapakmu, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa saja kebajikan yang kamu perbuat sesungguhnya Allah maha mengetahui"Jika seseorang sudah berkecukupan dalam hal harta hendaklah ia menafkahkannya yang pertama adalah kepada kedua orang tuanya. Kedua orang tua memiliki hak tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Al-Baqarah di atas. Kemudian kaum kerabat, anak yatim dan orang-orang yang dalam perjalanan. Berbuat baik yang pertama adalah kepada ibu kemudian bapak dan yang lain, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut."Artinya : Hendaklah kamu berbuat baik kepada ibumu kemudian ibumu sekali lagi ibumu kemudian bapakmu kemudian orang yang terdekat dan yang terdekat" [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 3, Abu Dawud No. 5139 dan Tirmidzi 1897, Hakim 3/642 dan 4/150 dari Mu'awiyah bin Haidah, Ahmad 5/3,5 dan berkata Tirmidzi, "Hadits Hasan"]Sebagian orang yang telah menikah tidak menafkahkan hartanya lagi kepada orang tuanya karena takut kepada istrinya, hal ini tidak dibenarkan. Yang mengatur harta adalah suami sebagaimana disebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Harus dijelaskan kepada istri bahwa kewajiban yang utama bagi anak laki-laki adalah berbakti kepada ibunya (kedua orang tuanya) setelah Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kewajiban yang utama bagi wanita yang telah bersuami setelah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kepada suaminya. Ketaatan kepada suami akan membawanya ke surga. Namun demikian suami hendaknya tetap memberi kesempatan atau ijin agar istrinya dapat berinfaq dan berbuat baik lainnya kepada kedua orang tuanya.Kelima.Mendo'akan orang tua. Sebagaimana dalam ayat "Robbirhamhuma kamaa rabbayaani shagiiro" (Wahai Rabb-ku kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku diwaktu kecil). Seandainya orang tua belum mengikuti dakwah yang haq dan masih berbuat syirik serta bid'ah, kita harus tetap berlaku lemah lembut kepada keduanya. Dakwahkan kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut sambil berdo'a di malam hari, ketika sedang shaum, di hari Jum'at dan di tempat-tempat dikabulkannya do'a agar ditunjuki dan dikembalikan ke jalan yang haq oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.Apabila kedua orang tua telah meninggal maka : Yang pertama : Kita lakukan adalah meminta ampun kepada Allah Ta'ala dengan taubat yang nasuh (benar) bila kita pernah berbuat durhaka kepada kedua orang tua sewaktu mereka masih hidup.Yang kedua : Adalah mendo'akan kedua orang tua kita.Dalam sebuah hadits dla'if (lemah) yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam."Apakah ada suatu kebaikan yang harus aku perbuat kepada kedua orang tuaku sesudah wafat keduanya ?" Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Ya, kamu shalat atas keduanya, kamu istighfar kepada keduanya, kamu memenuhi janji keduanya, kamu silaturahmi kepada orang yang pernah dia pernah silaturahmi kepadanya dan memuliakan teman-temannya" [Hadits ini dilemahkan oleh beberapa imam ahli hadits karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah dan Syaikh Albani Rahimahullah melemahkan hadits ini dalam kitabnya Misykatul Mashabiih dan juga dalam Tahqiq Riyadush Shalihin (Bahajtun Nazhirin Syarah Riyadush Shalihin Juz I hal.413 hadits No. 343)]Sedangkan menurut hadits-hadits yang shahih tentang amal-amal yang diperbuat untuk kedua orang tua yang sudah wafat, adalah : [1] Mendo'akannya[2] Menshalatkan ketika orang tua meninggal[3] Selalu memintakan ampun untuk keduanya.[4] Membayarkan hutang-hutangnya[5] Melaksanakan wasiat yang sesuai dengan syari'at.[6] Menyambung tali silaturrahmi kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya[Diringkas dari beberapa hadits yang shahih]Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma."Artinya : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya termasuk kebaikan seseorang adalah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman bapaknya sesudah bapaknya meninggal" [Hadits Riwayat Muslim No. 12, 13, 2552]Dalam riwayat yang lain, Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma menemui seorang badui di perjalanan menuju Mekah, mereka orang-orang yang sederhana. Kemudian Abdullah bin Umar mengucapkan salam kepada orang tersebut dan menaikkannya ke atas keledai, kemudian sorbannya diberikan kepada orang badui tersebut, kemudian Abdullah bin Umar berkata, "Semoga Allah membereskan urusanmu". Kemudian Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhumua berkata, "Sesungguhnya bapaknya orang ini adalah sahabat karib dengan Umar sedangkan aku mendengar sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Artinya : Sesungguhnya termasuk kebaikan seseorang adalah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman ayahnya" [Hadits Riwayat Muslim 2552 (13)]Tidak dibenarkan mengqadha shalat atau puasa kecuali puasa nadzar [Tamamul Minnah Takhrij Fiqih Sunnah hal. 427-428, cet. III Darul Rayah 1409H, lihat Ahkamul Janaiz oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal 213-216, cet. Darul Ma'arif 1424H]

[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta]

SURAT DARI IBU YANG TERKOYAK HATINYA

Oleh : Ustadzah Ummu Maria Zulva
Anaku….Ini surat dari ibu yang tersayat hatinya. Linangan air mata bertetesan deras menyertai tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau lelaki yang gagah lagi matang. Bacalah surat ini. Dan kau boleh merobek-robeknya setelah itu, seperti saat engkau meremukkan kalbuku sebelumnya.Sejak dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan psikis dan fisik. Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagiaanku. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat didepan mataku saat aku melahirkanmu. Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami.Berikutnya, aku layaknya pelayan yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu. Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan permintaanmu kepada Ibu untuk membuatkan sesuatu.Masa remaja pun engkau masuki. Kejantananmu semakin terlihat, Aku pun berikhtiar untuk mencarikan gadis yang akan mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh hidup baru.Seiring perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hak diriku telah terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku.Ibu sekarang sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah melakukan gerakan.Anakku…Seandainya ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan berterima kasih kepadanya. Sementara Ibu telah sekian lama berbuat baik kepada dirimu. Manakah balasan dan terima kasihmu pada Ibu ? Apakah engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada Ibu ? Ibu bertanya-tanya, dosa apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan mengunjungi Ibu ? Baiklah, anggap Ibu sebagai pembantu, mana upah Ibu selama ini ?Anakku..Ibu hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Kapan hatimu memelas dan luluh untuk wanita tua yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan, sekaligus duka dan kesedihan ? Ibu tidak tega untuk mengadukan kondisi ini kepada Dzat yang di atas sana. Ibu juga tidak akan menularkan kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan menyeretmu kepada kedurhakaan. Musibah dan hukuman pun akan menimpamu di dunia ini sebelum di akhirat. Ibu tidak akan sampai hati melakukannya,Anakku…Walaupun bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya diriku…Anakku…Perjalanan tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal dari jenis amalan yang dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis surat kepada keturunanmu dengan linangan air mata seperti yang Ibu alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian banyak orang-orang yang menggugat.Anakku..Takutlah engkau kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada Ibu. Sekalah air mataku, ringankanlah beban kesedihanku. Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini. Ketahuilah, “Barangsiapa beramal shalih maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri”.Anakku…Ingatlah saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah nyawa Ibu. Ingatlah saat engkau menyusui. Ingatlah belaian sayag dan kelelahan Ibu saat engkau sakit. Ingatlah ….. Ingatlah…. Karena itu, Allah menegaskan dengan wasiat : “Wahai, Rabbku, sayangilah mereka berdua seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil”.Anakku…Allah berfirman: “Dan dalam kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang berakal” [Yusuf : 111]Pandanglah masa teladan dalam Islam, masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, supaya engkau memperoleh potret bakti anak kepada orang tua.KISAH TELADAN KEPADA ORANG TUASahabat Abu Hurairah sempat gelisah karena ibunya masih dalam jeratan kekufuran. Dalam shahih Muslim disebutkan, dari Abu Hurairah, ia bercerita.Aku mendakwahi ibuku agar masuk Islam. Suatu hari aku mengajaknya untuk masuk Islam, tetapi dia malah mengeluarkan pernyataan tentang Nabi yang aku benci. Aku (pun) menemui Rasulullah dalam keadaan menangis. Aku mengadu.“Wahai Rasulullah, aku telah membujuk ibuku untuk masuk Islam, namun dia menolakku. Hari ini, dia berkomentar tentang dirimu yang aku benci. Mohonlah kepada Allah supaya memberi hidayah ibu Abu Hurairah”. Rasulullah bersabda : “Ya, Allah. Tunjukilah ibu Abu Hurairah”. Aku keluar dengan hati riang karena do’a Nabi. Ketika aku pulang dan mendekati pintu, maka ternyata pintu terbuka. Ibuku mendengar kakiku dan berkata : “Tetap di situ Abu Hurairah”. Aku mendengar kucuran air. Ibu-ku sedang mandi dan kemudian mengenakan pakaiannya serta menutup wajahnya, dan kemudian membuka pintu. Dan ia berkata : “Wahai, Abu Hurairah ! Asyhadu an Laa Ilaaha Illa Allah wa Asyhadu Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuluhu”. Aku kembali ke tempat Rasulullah dengan menangis gembira. Aku berkata, “Wahai, Rasulullah, Bergembiralah. Allah telah mengabulkan do’amu dan menunjuki ibuku”. Maka beliau memuji Allah dan menyanjungNya serta berkomentar baik” [Hadits Riwayat Muslim]Ibnu Umar pernah melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia bertanya : “Apakah ini sudah melunasi jasanya (padaku) wahai Ibnu Umar?” Beliau menjawab : “Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitan (saat persalinan)”.Zainal Abidin, adalah seorang yang terkenal baktinya kepada ibu. Orang-orang keheranan kepadanya (dan berkata) : “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibu. Mengapa kami tidak pernah melihatmu makan berdua dengannya dalam satu talam”? Ia menjawab,”Aku khawatir tanganku mengambil sesuatu yang dilirik matanya, sehingga aku durhaka kepadanya”.Sebelumnya, kisah yang lebih mengharukan terjadi pada diri Uwais Al-Qarni, orang yang sudah beriman pada masa Nabi, sudah berangan-angan untuk berhijrah ke Madinah untuk bertemu dengan Nabi. Namun perhatiannya kepada ibunya telah menunda tekadnya berhijrah. Ia ingin bisa meraih surga dan berteman dengan Nabi dengan baktinya kepada ibu, kendatipun harus kehilangan kemuliaan menjadi sahabat Beliau di dunia.Dalam shahih Muslim, dari Usair bin Jabir, ia berkata : Bila rombongan dari Yaman datang, Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka : “Apakah Uwais bin Amir bersama kalian ?” sampai akhirnya menemui Uwais. Umar bertanya, “Engkau Uwais bin Amir?” Ia menjawa,”Benar”. Umar bertanya, “Engkau dari Murad kemudian beralih ke Qarn?” Ia menjawab, “Benar”. Umar bertanya, “Engkau punya ibu?”. Ia menjawab, “Benar”. Umar (pun) mulai bercerita, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.“Akan datang pada kalian Uwais bin Amir bersama rombongan penduduk Yaman yang berasal dari Murad dan kemudian dari Qarn. Ia pernah tertimpa lepra dan sembuh total, kecuali kulit yang sebesar logam dirham. Ia mempunyai ibu yang sangat dihormatinya. Seandainya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya aku hormati sumpahnya. Mintalah ia beristighfar untukmu jika bertemu”.(Umar berkata), “Tolong mintakan ampun (kepada Allah) untukku”. Maka ia memohonkan ampunan untukku. Umar bertanya, “Kemana engkau akan pergi?”. Ia menjawab, “Kufah”. Umar berkata, “Maukah engkau jika aku menulis (rekomendasi) untukmu ke gubernurnya (Kufah)?” Ia menjawab, “Aku lebih suka bersama orang yang tidak dikenal”.Kisah lainnya tentang bakti kepada ibu, yaitu Abdullah bin Aun pernah memanggil ibunya dengan suara keras, maka ia memerdekakan dua budak sebagai tanda penyesalannya.KISAH KEDURHAKAAN KEPADA ORANG TUADiceritakan ada lelaki yang sangat durhaka kepada sang ayah sampai tega menyeret ayahnya ke pintu depan untuk mengusirnya dari rumah. Sang ayah ini dikarunia anak yang lebih durhaka darinya. Anak itu menyeret bapaknya sampai kejalanan untuk mengusirnya dari rumahnya. Maka sang bapak berkata : “Cukup… Dulu aku hanya menyeret ayahku sampai pintu depan”. Sang anak menimpali : “Itulah balasanmu. Adapun tembahan ini sebagai sedekh dariku!”.Kisah pedih lainnya, seorang Ibu yang mengisahkan kesedihannya : “Suatu hari istri anakku meminta suaminya (anakku) agar menempatkanku di ruangan yang terpisah, berada di luar rumah. Tanpa ragu-ragu, anakku menyetujuinya. Saat musim dingin yang sangat menusuk, aku berusaha masuk ke dalam rumah, tapi pintu-pintu terkunci rapat. Rasa dingin pun menusuk tubuhku. Kondisiku semakin buruk. Anakku ingin membawaku kesuatu tempat. Perkiraanku ke rumah sakit, tetapi ternyata ia mencampakkanku ke panti jompo. Dan setelah itu tidak pernah lagu menemuiku”Sebagai penutup, kita harus memahami bahwa bakti kepada orang tua merupakan jalan lempang dan mulia yang mengantarkan seorang anak menuju surga Allah. Sebaliknya, kedurhakaan kepada mereka, bisa menyeret sang anak menuju lembah kehinaan, neraka.Hati-hatilah, durhaka kepada orang tua, dosanya besar dan balasannya menyakitkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.“Artinya : Akan terhina, akan terhina dan akan terhina!” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullahj, siapakah gerangan ?” Beliau bersabda, “Orang yang mendapati orang tuanya, atau salah satunya pada hari tuanya, namun ia (tetap) masuk neraka” [Hadits Riwayat Muslim][Diadaptasi dari Idatush Shabirin, oleh Abdullah bin Ibrahim Al-Qa’rawi dan Ilzam Rijlaha Fatsamma Al-Jannah, oleh Shalihj bin Rasyid Al-Huwaimil]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425/2005M. Penerbiit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183]

ORANG MUKMIN TERCIPTA PENUH COBAAN

OlehSyaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halaby

Terdapat riwayat yang shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :"Artinya : Sesunguhnya seorang mukmin tercipta dalam keadaan Mufattan (penuh cobaan), Tawwab (senang bertaubat), dan Nassaa' (suka lupa), (tetapi) apabila diingatkan ia segera ingat". [Silsilah Hadits Shahih No. 2276].Hadist ini merupakan hadits yang menjelaskan sifat-sifat orang mukmin, sifat-sifat yang senantiasa lengket dan menyatu dengan diri mereka, tiada pernah lepas hingga seolah-olah pakaian yang selalu menempel pada tubuh mereka dan tidak pernah terjauhkan dari mereka.MufattanArtinya : "Orang yang diuji (diberi cobaan) dan banyak ditimpa fitnah. Maksudnya : (orang mukmin) adalah orang yang waktu demi waktu selalu diuji oleh Allah dengan balaa' (bencana) dan dosa-dosa". [Faid-Qadir 5/491].Dalam hal ini fitnah (cobaan) itu akan meningkatkan keimanannya, memperkuat keyakinannya dan akan mendorong semangatnya untuk terus menerus berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebab dengan kelemahan dirinya, ia menjadi tahu betapa Maha Kuat dan Maha Perkasanya Allah, Rabb-nya.Menurut sebuah riwayat dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda."Artinya : Perumpamaan orang mukmin ibarat sebatang pokok yang lentur diombang-ambing angin, kadang hembusan angin merobohkannya, dan kadang-kadang meluruskannya kembali. Demikianlah keadaannya sampai ajalnya datang. Sedangkan perumpamaan seorang munafik, ibarat sebatang pokok yang kaku, tidak bergeming oleh terpaan apapun hingga (ketika) tumbang, (tumbangnya) sekaligus". [Bukhari : Kitab Al-Mardha, Bab I, Hadist No. 5643, Muslim No. 7023, 7024, 7025, 7026, 7027].Ya, demikianlah sifat seorang mukmin dengan keimanannya yang benar, dengan tauhidnya yang bersih dan dengan sikap iltizam (komitment)nya yang sungguh-sungguh.Tawaab NasiyyArtinya : "Orang yang bertaubat kemudian lupa, kemudian ingat, kemudian bertaubat". [Faid-Al Qadir 5/491].Seorang mukmin dengan taubatnya, berarti telah mewujudkan makna salah satu sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu sifat yang terkandung dalam nama-Nya : Al-Ghaffar (Dzat yang Maha Pengampun). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman."Artinya : Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar". [Thaha : 82].Apabila Diingatkan, Ia Segera Ingat.Artinya : "Bila diingatkan tentang ketaatan, ia segera bergegas melompat kepadanya, bila diingatkan tentang kemaksiatan, ia segera bertaubat daripadanya, bila diingatkan tentang kebenaran, ia segera melaksanakannya, dan bila diingatkan tentang kesalahan ia segera menjauhi dan meninggalkannya".Ia tidak sombong, tidak besar kepala, tidak congkak dan tidak tinggi hati, tetapi ia rendah hati kepada saudara-saudaranya, lemah lembut kepada sahabat-sahabatnya dan ramah tamah kepada teman-temannya, sebab ia tahu inilah jalan Ahlul Haq (pengikut kebenaran) dan jalannya kaum mukminin yang shalihin.Terhadap dirinya sendiri ia berbatin jujur serta berpenampilan luhur, sedangkan terhadap orang lain ia berperasaan lembut dan berahlak mulia, bersuri tauladan kepada insan teladan paling sempurna yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang telah diberi wasiat oleh Rabb-nya dengan firman-Nya :"Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka .....". [Ali Imran : 159]Inilah sifat seorang mukmin. Ini pula jalan hidup serta manhaj perilakunya.[Majalah Al-Ashalah edisi 15, Th III 15 Dzul Qa'dah 1415H]

Nikmat Allah Syukuri dan Ujian-Nya

Oleh ; Abu Shofyan

SabarilahDemikian banyak nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak ada satupun manusia yang bisa menghitungnya, meski menggunakan alat secanggih apapun. Pernahkah kita berpikir, untuk apa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan demikian banyak nikmat kepada para hamba-Nya? Untuk sekedar menghabiskan nikmat-nikmat tersebut atau ada tujuan lain? Luasnya Pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala Sungguh betapa besar dan banyak nikmat yang telah dikaruniakan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita. Setiap hari silih berganti kita merasakan satu nikmat kemudian beralih kepada nikmat yang lain. Di mana kita terkadang tidak membayangkan sebelumnya akan terjadi dan mendapatkannya. Sangat besar dan banyak karena tidak bisa untuk dibatasi atau dihitung dengan alat secanggih apapun di masa kini. Semua ini tentunya mengundang kita untuk menyimpulkan betapa besar karunia dan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Dalam realita kehidupan, kita menemukan keadaan yang memprihatinkan. Yaitu mayoritas manusia dalam keingkaran dan kekufuran kepada Pemberi Nikmat. Puncaknya adalah menyamakan pemberi nikmat dengan makhluk, yang keadaan makhluk itu sendiri sangat butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tentu hal ini termasuk dari kedzaliman di atas kedzaliman sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedzaliman yang paling besar.” (QS.Luqman: 13) Kendati demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memberikan kepada mereka sebagian karunia-Nya disebabkan “kasih sayang-Nya mendahului murka-Nya” dan membukakan bagi mereka pintu untuk bertaubat. Oleh sebab itu tidak ada alasan bagi hamba ini untuk: - Ingkar dan kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menyamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya yang sangat butuh kepada-Nya. - Menyombongkan diri serta angkuh dengan tidak mau melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan larangan-larangan-Nya atau tidak mau menerima kebenaran dan mengentengkan orang lain. -Tidak mensyukuri pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan nikmat apapun yang kalian dapatkan adalah datang dari Allah.” (QS.An-Nahl: 53) “Dan jika kalian menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak akan sanggup.” (QS.An-Nahl: 18) Pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Satu Tujuan yang Mulia Dari sekian nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita, mari kita mencoba menghitungnya. Sudah berapakah dalam kalkulasi kita nikmat yang telah kita syukuri dan dari sekian nikmat yang telah kita pergunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Jika kita menemukan kalkulasi yang baik, maka pujilah Allah Subhanahu wa Ta’ala karena Dia telah memberimu kesempatan yang baik. Jika kita menemukan sebaliknya maka janganlah engkau mencela melainkan dirimu sendiri.(1) Setiap orang bisa mengatakan bahwa semua yang ada di dunia ini merupakan pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tahukah anda apa rahasia di balik pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala tersebut? Ketahuilah bahwa kenikmatan yang berlimpah ruah bukanlah tujuan diciptakannya manusia dan bukan pula sebagai wujud cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia untuk sebuah kemuliaan baginya dan menjadikan segala nikmat itu sebagai perantara untuk menyampaikan kepada kemuliaan tersebut. Tujuan itu adalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, sebagaimana hal ini disebutkan dalam firman-Nya: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepada-Ku.” (QS.Adz-Dzariyat: 56) Bagi orang yang berakal akan berusaha mencari rahasia di balik pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berlimpah ruah tersebut. Setelah dia menemukan jawabannya, yaitu untuk beribadah kepada-Nya saja, maka dia akan mengetahui pula bahwa dunia bukan sebagai tujuan. Sebagai bukti yaitu adanya kematian setelah hidup ini dan adanya kehidupan setelah kematian diiringi dengan persidangan dan pengadilan serta pembalasan dari Allah. Itulah kehidupan yang hakiki di akhirat nanti. Kesimpulan seperti ini akan mengantarkan kepada: 1. Dunia bukan tujuan hidup. 2. Kenikmatan yang ada padanya bukan tujuan diciptakan manusia, akan tetapi sebagai perantara untuk suatu tujuan yang mulia. 3. Semangat beramal untuk tujuan hidup yang hakiki dan kekal. Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Ketahuilah bahwa nikmat itu ada dua bentuk, nikmat yang menjadi tujuan dan nikmat yang menjadi perantara menuju tujuan. Nikmat yang merupakan tujuan adalah kebahagiaan akhirat dan nilainya akan kembali kepada empat perkara. Pertama : Kekekalan dan tidak ada kebinasaan setelahnya, Kedua : Kebahagian yang tidak ada duka setelahnya, Ketiga : Ilmu yang tidak ada kejahilan setelahnya, Keempat: Kaya yang tidak ada kefakiran setelahnya. Semua ini merupakan kebahagiaan yang hakiki. Adapun bagian yang kedua (dari dua jenis nikmat) adalah sebagai perantara menuju kebahagiaan yang disebutkan dan ini ada empat perkara: Pertama : Keutamaan diri sendiri seperti keimanan dan akhlak yang baik. Kedua : Keutamaan pada badan seperti kekuatan dan kesehatan dan sebagainya. Ketiga : Keutamaan yang terkait dengan badan seperti harta, kedudukan, dan keluarga. Keempat: Sebab-sebab yang menghimpun nikmat-nikmat tersebut dengan segala keutamaan seperti hidayah, bimbingan, kebaikan, pertolongan, dan semua nikmat ini adalah besar.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 282) Untaian Indah dari Ibnu Qudamah “Ketahuilah bahwa segala yang dicari oleh setiap orang adalah nikmat. Akan tetapi kenikmatan yang hakiki adalah kebahagiaan di akhirat kelak dan segala nikmat selainnya akan lenyap. Semua perkara yang disandarkan kepada kita ada empat macam: Pertama, Sesuatu yang bermanfaat di dunia dan di akhirat seperti ilmu dan akhlak yang baik. Inilah kenikmatan yang hakiki. Kedua, Sesuatu yang memudaratkan di dunia dan di akhirat. Ini merupakan bala’ (kerugian) yang hakiki. Ketiga, Bermanfaat di dunia akan tetapi memudaratkan di akhirat seperti berlezat-lezat dan mengikuti hawa nafsu. Ini sesungguhnya bala bagi orang yang berakal, sekalipun orang jahil menganggapnya nikmat. Seperti seseorang yang sedang lapar lalu menemukan madu yang bercampur racun. Bila tidak mengetahuinya, dia menganggap sebuah nikmat dan jika mengetahuinya dia menganggapnya sebagai malapetaka. Keempat, Memudaratkan di dunia namun akan bermanfaat di akhirat sebagai nikmat bagi orang yang berakal. Contohnya obat, bila dirasakan sangat pahit dan pada akhirnya akan menyembuhkan (dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta'ala). Seorang anak bila dipaksa untuk meminumnya dia menyangka sebagai malapetaka dan orang yang berakal akan menganggapnya sebagai nikmat. Demikian juga bila seorang anak butuh untuk dibekam, sang bapak berusaha menyuruh dan memerintahkan anaknya untuk melakukannya. Namun sang anak tidak bisa melihat akibat di belakang yang akan muncul berupa kesembuhan. (Begitupun) sang ibu akan berusaha mencegah karena cintanya yang tinggi kepada anak tersebut karena sang ibu tidak tahu tentang maslahat yang akan muncul dari pengobatan tersebut. Sang anak menuruti apa kata ibunya. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuannya sehingga ia lebih menuruti ibunya daripada bapaknya. Bersamaan dengan itu sang anak menganggap bapaknya sebagai musuh. Jika sang anak berakal, niscaya dia akan menyimpulkan bahwa sang ibu merupakan musuh sesungguhnya dalam wujud teman dekat. Karena larangan sang ibu untuk berbekam akan menggiringnya kepada penyakit yang lebih besar dibandingkan sakit karena berbekam. Karena itu, teman yang jahil lebih berbahaya dari seorang musuh yang berakal. Dan setiap orang menjadi teman dirinya sendiri, akan tetapi nafsu merupakan teman yang jahil. Nafsu akan berbuat pada dirinya apa yang tidak diperbuat oleh musuh.” (Minhajul Qashidin hal. 281-282) Syukur dalam Tinjauan Bahasa dan Agama Syukur secara bahasa adalah nampaknya bekas makan pada badan binatang dengan jelas. Binatang yang syakur artinya: Apabila nampak padanya kegemukan karena makan melebihi takarannya. Adapun dalam tinjauan agama, syukur adalah: Nampaknya pengaruh nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas seorang hamba melalui lisannya dengan cara memuji dan mengakuinya; melalui hati dengan cara meyakininya dan cinta; serta melalui anggota badan dengan penuh ketundukan dan ketaatan. (Madarijus Salikin, 2/244) Ada juga yang mendefinisikan syukur dengan makna lain seperti: 1. Mengakui nikmat yang diberikan dengan penuh ketundukan. 2. Memuji yang memberi nikmat atas nikmat yang diberikannya. 3. Cinta hati kepada yang memberi nikmat dan (tunduknya) anggota badan dengan ketaatan serta lisan dengan cara memuji dan menyanjungnya. 4. Menyaksikan kenikmatan dan menjaga (diri dari) keharaman. 5. Mengetahui kelemahan diri dari bersyukur. 6. Menyandarkan nikmat tersebut kepada pemberinya dengan ketenangan. 7. Engkau melihat dirimu orang yang tidak pantas untuk mendapatkan nikmat. 8. Mengikat nikmat yang ada dan mencari nikmat yang tidak ada. Masih banyak lagi definisi para ulama tentang syukur, akan tetapi semuanya kembali kepada penjelasan Ibnul Qayyim sebagaimana disebutkan di atas. Yang jelas, syukur adalah sebuah istilah yang digunakan pada pengakuan/ pengetahuan akan sebuah nikmat. Karena mengetahui nikmat merupakan jalan untuk mengetahui Dzat yang memberi nikmat. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakan Islam dan iman di dalam Al-Qur`an dengan syukur. Dari sini diketahui bahwa mengetahui sebuah nikmat merupakan rukun dari rukun-rukun syukur. (Madarijus Salikin, 2/247) Apabila seorang hamba mengetahui sebuah nikmat maka dia akan mengetahui yang memberi nikmat. Ketika seseorang mengetahui yang memberi nikmat tentu dia akan mencintai-Nya dan terdorong untuk bersungguh-sungguh mensyukuri nikmat-Nya. (Madarijus Salikin, 2/247, secara ringkas) Syukur Tidak Sempurna Melainkan dengan Mengetahui Apa yang Dicintai Allah. Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Ketahuilah bahwa syukur dan tidak kufur tidak akan sempurna melainkan dengan mengetahui segala apa yang dicintai oleh Allah. Sebab makna syukur adalah mempergunakan segala karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada apa yang dicintai-Nya, dan kufur nikmat adalah sebaliknya. Bisa juga dengan tidak memanfaatkan nikmat tersebut atau mempergunakannya pada apa yang dimurkai-Nya.”

Rabu, 13 Januari 2010

TERAPI RASULULLAH DALAM PENYENBUHAN PENYAKIT AL-ISYQ ( CINTA )

OlehIbnu Qayyim Al-Jauziyah

Mukaddimah
Virus hati yang bernama cinta ternyata telah banyak memakan korban. Mungkin anda pernah mendengar seorang remaja yang nekat bunuh diri disebabkan putus cinta, atau tertolak cintanya. Atau anda pernah mendengar kisah Qeis yang tergila-gila kepada Laila. Kisah cinta yang bermula sejak mereka bersama mengembala domba ketika kecil hingga dewasa. Akhirnya sungguh tragis, Qeis benar-benar menjadi gila ketika laila dipersunting oleh pria lain. Apakah anda pernah mengalami problema seperti ini atau sedang mengalaminya? mau tau terapinya? Mari sama-sama kita simak terapi mujarab yang disampaikan Ibnu Qoyyim dalam karya besarnya Zadul Ma'ad.Beliau berkata : Gejolak cinta adalah jenis penyakit hati yang memerlukan penanganan khusus disebabkan perbedaannya dengan jenis penyakit lain dari segi bentuk, sebab maupun terapinya. Jika telah menggerogoti kesucian hati manusia dan mengakar di dalam hati, sulit bagi para dokter mencarikan obat penawarnya dan penderitanya sulit disembuhkan.Allah mengkisahkan penyakit ini di dalam Al-Quran tentang dua tipe manusia, pertama wanita dan kedua kaum homoseks yang cinta kepada mardan (anak laki-laki yang rupawan). Allah mengkisahkan bagaimana penyakit ini telah menyerang istri Al-Aziz gubernur Mesir yang mencintai Nabi Yusuf, dan menimpa Kaum Luth. Allah mengkisahkan kedatangan para malaikat ke negeri Luth Dan datanglah penduduk kota itu (ke rumah Luth) dengan gembira (karena) kedatangan tamu-tamu itu. Luth berkata: "Sesungguhnya mereka adalah tamuku; maka janganlah kamu memberi malu (kepadaku), dan bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu membuat aku terhina ".Mereka berkata: "Dan bukankah kami telah melarangmu dari (melindungi) manusia?" Luth berkata: "Inilah puteri-puteri (negeri) ku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal)". (Allah berfirman): "Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)". [Al-Hijr: 68-72]KEBOHONGAN KISAH CINTA NABI DENGAN ZAINAB BINTI JAHSYAda sekelompok orang yang tidak tahu menempatkan kedudukan Rasul sebagaimana layaknya, beranggapan bahwa Rasulullah tak luput dari penyakit ini sebabnya yaitu tatkala beliau melihat Zaenab binti Jahsy sambil berkata kagum: Maha Suci Rabb yang membolak-balik hati, sejak itu Zaenab mendapat tempat khusus di dalam hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, oleh karena itu Beliau berkata kepada Zaid bin Haritsah: Tahanlah ia di sisimu hingga Allah menurunkan ayat:“Artinya : Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni`mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni`mat kepadanya : "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi” [Al-Ahzab :37] [1]Sebagain orang beranggapan ayat ini turun berkenaan kisah kasmaran Nabi, bahkan sebagian penulis mengarang buku khusus mengenai kisah kasmaran para Nabi dan meyebutkan kisah Nabi ini di dalamnya. Hal ini terjadi akibat kejahilannya terhadap Al-Quran dan kedudukan para Rasul, hingga ia memaksakan kandungan ayat apa-apa yang tidak layak dikandungnya dan menisbatkan kepada Rasulullah suatu perbuatan yang Allah menjauhkannya dari diri Beliau .Kisah sebenarnya, bahwa Zainab binti Jahsy adalah istri Zaid ibn Harisah .--bekas budak Rasulullah-- yang diangkatnya sebagai anak dan dipanggil dengan Zaid ibn Muhammad. Zainab merasa lebih tinggi dibandingkan Zaid. Oleh Sebab itu Zaid ingin menceraikannya. Zaid datang menemui Rasulullah minta saran untuk menceraikannya, maka Rasulullah menasehatinya agar tetap memegang Zainab, sementara Beliau tahu bahwa Zainab akan dinikahinya jika dicerai Zaid. Beliau takut akan cemoohan orang jika mengawini wanita bekas istri anak angkatnya. Inilah yang disembunyikan Nabi dalam dirinya, dan rasa takut inilah yang tejadi dalam dirinya. Oleh karena itu di dalam ayat Allah menyebutkan karunia yang dilimpahkanNya kepada Beliau dan tidak mencelanya karena hal tersebut sambil menasehatinya agar tidak perlu takut kepada manusia dalam hal-hal yang memang Allah halalkan baginya sebab Allah-lah yang seharusnya ditakutinya. Jangan Sampai beliau takut berbuat sesuatu hal yang Allah halalkan karena takut gunjingan manusia, setelah itu Allah memberitahukannya bahwa Allah langsung yang akan menikahkannya setelah Zaid menceraikan istrinya agar Beliau menjadi contoh bagi umatnya mengenai kebolehan menikahi bekas istri anak angkat, adapun menikahi bekas istri anak kandung maka hal ini terlarang.sebagaimana firman Allah:"Artinya : Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu" [Al-Ahzab: 40] Allah berfirman di pangkal surat ini:"Artinya : Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja" [Al-Ahzab : 4]Perhatikanlah bagaiamana pembelaan terhadap Rasulullah ini, dan bantahan terhadap orang-orang yang mencelanya. Wabillahi at-Taufiq.Tidak dipungkiri bahwa Rasulullah sangat mencintai istri-istrinya. Aisyah adalah istri yang paling dicintainya, namun kecintaannya kepada Aisyah dan kepada lainnya tidak dapat menyamai cintanya tertinggi, yakni cinta kepada Rabbnya. Dalam hadis shahih: "Artinya : Andaikata aku dibolehkan mengambil seorang kekasih dari salah seorang penduduk bumi maka aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih"[2]KRITERIA MANUSIA YANG BERPOTENSI TERJANGKIT PENYAKIT AL-ISYQPenyakit al-isyq akan menimpa orang-orang yang hatinya kosong dari rasa mahbbah (cinta) kepada Allah, selalu berpaling dariNya dan dipenuhi kecintaan kepada selainNya. Hati yang penuh cinta kepada Allah dan rindu bertemu dengaanNya pasti akan kebal terhadap serangan virus ini, sebagaimana yang terjadi dengan Yusuf alaihis salam: "Artinya ; Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih" [Yusuf : 24]Nyatalah bahwa Ikhlas merupakan immunisasi manjur yang dapat menolak virus ini dengan berbagai dampak negatifnya berupa perbuatan jelek dan keji.Artinya memalingkan seseorang dari kemaksiatan harus dengan menjauhkan berbagai sarana yang menjurus ke arah itu .Berkata ulama Salaf: penyakit cinta adalah getaran hati yang kosong dari segala sesuatu selain apa yang dicinta dan dipujanya. Allah berfirman mengenai Ibu Nabi Musa:"Artinya ; Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya" [Al-Qasas :11]Yakni kosong dari segala sesuatu kecuali Musa karena sangat cintanya kepadaMusa dan bergantungnya hatinya kepada Musa.BAGAIMANA VIRUS INI BISA BERJANGKIT ?Penyakit al-isyq terjadi dengan dua sebab, Pertama : Karena mengganggap indah apa-apa yang dicintainya. Kedua: perasaan ingin memiliki apa yang dicintainya. Jika salah satu dari dua faktor ini tiada niscaya virus tidak akan berjangkit. Walaupun Penyakit kronis ini telah membingungkan banyak orang dan sebagian pakar berupaya memberikan terapinya, namun solusi yang diberikan belum mengena.MAKHLUK DICIPTAKAN SALING MENCARI YANG SESUAI DENGANNYABerkata Ibn al-Qayyim: ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmahNya menciptakan makhlukNya dalam kondisi saling mencari yang sesuai dengannya, secara fitrrah saling tertarik dengan jenisnya, sebaliknya akan menjauh dari yang berbeda dengannya. Rahasia adanya percampuran dan kesesuaian di alam ruh akan mengakibatkan adanya keserasian serta kesamaan, sebagaimana adanya perbedaan di alam ruh akan berakibat tidak adanya keserasian dan kesesuaian. Dengan cara inilahtegaknya urusan manusia. Allah befirman:"Artinya : Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya” [Al-A'raf :189]Dalam ayat ini Allah menjadikan sebab perasaan tentram dan senang seorang lelaki terhadap pasangannya karena berasal dari jenis dan bentuknya. Jelaslah faktor pendorong cinta tidak bergantung dengan kecantikan rupa, dan tidak pula karena adanya kesamaan dalam tujuan dan keingginan, kesamaan bentuk dan dalam mendapat petunjuk, walaupun tidak dipungkiri bahwa hal-hal ini merupakan salah satu penyebab ketenangan dan timbulnya cinta.Nabi pernah mengatakan dalam sebuah hadisnya:"Artinya : Ruh-ruh itu ibarat tentara yang saling berpasangan, yang saling mengenal sebelumnya akan menyatu dan yang saling mengingkari akan berselisih "[3] Dalam Musnad Imam Ahmad diceritakan bahwa asbabul wurud hadis ini yaitu ketika seorang wanita penduduk Makkah yang selalu membuat orang tertawa hijrah ke Madinah ternyata dia tinggal dan bergaul dengan wanita yang sifatnya sama sepertinya yaitu senang membuat orang tertawa. Karena itulah nabi mengucapkan hadis ini.Karena itulah syariat Allah akan menghukumi sesuatu menurut jenisnya, mustahil syariat menghukumi dua hal yang sama dengan perlakuan perbeda atau mengumpulkan dua hal yang kontradiktif. Barang siapa yang berpendapat lain maka jelaslah karena minimnya ilmu pengetahuannya terhadap syariat ini atau kurang memahami kaedah persamaan dan sebaliknya. Penerapan kaedah ini tidak saja berlaku di dunia lebih dari itu akan diterapkan pula di akhirat, Allah berfirman:"Artinya : (kepada malaikat diperintahkan): Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah" [As-Shaffat : 23]Umar ibn Khtaab dan seteelahnya Imam Ahmad pernah berkata mengenai tafsiran wajahum yakni yang sesuai dan mirip dengannya .Allah juga berfirman "Artinya : Dan apabila jiwa dipertemukan" [At-Takwir : 7]Yakni setiap orang akan digiring dengan orang-orang yang sama prilakunya dengannya, Allah akan menggiring antara orang-orang yang saling mencintai kareNya di dalam surga dan akan menggiring orang orang yang saling bekasih-kasihan diatas jalan syetan di neraka Jahim, tiap oran akan digiring dengan siapa yang dicintainya mau tidak mau. Di dalam mustadrak Al-Hakim disebukan bahwa Nabi bersabda:"Artinya : Tidaklah seseorang mencintai suatu kaum kecuali akan digiring bersama mereka kelak" [4][Diterjemahkan oleh : Ustadz Ahmad Ridwan,Lc (Abu Fairuz Al-Medani), Dari kitab : Zadul Ma'ad Fi Hadyi Khairi Ibad, Juz 4, halaman 265-274, Penulis Ibnu Qayyim Al-Jauziah]_________Foote Note[1]. Ini berita batil yang diriwayatkan oleh Ibn Sa'ad dalam at-Tabaqat/101-102, dan al-Hakim 3/23 dari jalan Muhammad ibn Umar al Waqidi seorang yang Matruk (ditinggalkan)-- dan sebagian menggapnya sebagai pemalsu hadis, dari Muhakmmad ibn Yahya ibn Hibban--seorang yang siqah –namun riwayat yang diriwayatkannya dari Nabi sekuruhnya mursal. Kebatilah riwayat ini telah diterangkan oleh para ulama almuhaqqiqin. Mereka berkata: Penukil riwayat ini dan yang menggunakan ayat ini sebagai dalil terhadap prasangka buruk mereka mengenai Rasulullah sebenranya tidak meletetakkan kedudukan kenabian Rasulullah sebagaimana layaknya, dan tidak mengerti makna kemaksuman Beliau. Sesungguhnya yang disembunayikan Nabi di dalam dirinya dan belakangan Allah nampakkan adalah berita yang Allah sampaikan padanya bahwa kelak Zaenab akan menjadi istrinya. Faktor yang membuat nabi menyembunyikan berita ini tidak lain disebabkan perasaan takut beliau terhadap perkataan orang bahwa Beliau tega menikahi istri anak angkatnya . Sebenarnya dengan kisah ini Allah ingin membatakan tadisi jahiliyyah ini dalam hal adopsi , yaitu dengan menikahkan Rasulullah dengan istri anak angkatnya. Peristiwa yang terjadi dengan Rasulullah ini sebagai pemimpin manusia akan lebih diterima dan mengena di hati mereka.. Lihat Ahkam Alquran 3/1530,1532 karya Ibn Arabi dan Fathul Bari 8/303, Ibn Kastir 3/492, dan Ruhul Ma'ani 22/24-25.[2]. Hadis diriwayatkan oleh Bukhari 7/15 dalam bab fadhail sahabat Nabi, dari jalan Abdullah ibn Abbas, dan diriwayatkan oleh Imam Muslim (2384) dalam Fadail Sahabat, bab keutamaan Abu Bakar, dari jalan Abdullah ibn Masud, dan keduanya sepakat meriwayatkan dari jalan Abu Sa'id al-khudri. [3]. Hadis Riwayt Bukhari 7/267dari hadis Aisyah secara muallaq, dan Muslim (2638) dari jalan Abu Hurairah secara mausul[4]. Diriwayatkan oleh Ahmad 6/145, 160, dan an-Nasai dari jalan Aisyah Bahwa Rasulullah Saw bersabda: Aku bersumpah terhadap tiga hal, Allah tidak akan menjadikan orang-orang yang memiliki saham dalam Islam sama dengan orang yang tidak memiliki saham, saham itu yakni: Sholat, puasa dan zakat. Tidak lah Allah mengangkat seseorang di dunia, kemudain ada selainNya yang dapat mengankat (derajatnya) di hari kiamat. Tidaklah seseorang mencintai suatu kaum kecuali kelak Allah akan menggumpulkannya bersama (di akhirat). Kalau boleh aku bersumpat terhadap yang keempat dan kuharap aku tiodak berdosa dalam hal ini yaitu tidaklah seseorang memberi pakaian kepada orang lain (untuk menutupi auratnya) kecuali Allah akn memberikannya pakaian penutup di hari kiamat. Para perawi hadis ini stiqah kecuali Syaibahal-khudri (di dalam Musnad di tulis keliru dengan al-isyq-hadromi). Dia meriwayatkan dari Urwah, dan dia tidak di tsiqahkan kecuali oleh Ibn Hibban, namun ada syahidnya dari hadist Ibn Masud dari jalur Abu Yala, dan Thabrani dari jalur Abu Umamah, dengan kedua jalan ini hadis ini menjadi sahih.