Assalamu'alaikum wr. wb " Kami Pengurus mengajak kepada bapak/ibu/saudara donatur/pembaca blogpanti yang ingin berinvestasi akhirat utk pembebasan tanah panti permeter : 250.000.yang masih kurang 35 juta.jika berminat hbg bendahara Hj,sri Murtini :081328838320/0274 773720/774230/langsung transfer ke no.rekening panti BRI cab.wates no.0152.01.003706-50-5 Cq H.Anwarudin. semoga menjadi sebab-sebab kemudahan dan khusnulkhotimah

Sabtu, 17 Juli 2010

Syarah Ayat & Hadis Sabar dan Syukur

Allah ta’ala berfirman
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ كَلَّا
“Adapun manusia, apabila Rabbnya menimpakan ujian kepadanya dengan memuliakan dan mencurahkan nikmat kepadanya maka dia mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakanku’. Dan apabila Dia mengujinya dengan membatasi rezkinya niscaya dia akan mengatakan, ‘Rabbku telah menghinakanku’. Sekali-kali bukan demikian…” (QS. al-Fajr :15-17) Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan “ Tidaklah setiap orang yang Aku (Allah) berikan kemuliaan di dunia dan Kuberikan kenikmatan dunia kepadanya maka itu berarti Aku benar-benar mengaruniakan nikmat yang hakiki kepadanya. Karena sesungguhnya hal itu merupakan cobaan dari-Ku kepadanya sekaligus sebagai ujian untuknya. Dan tidak pula setiap orang yang Aku batasi rezkinya sehingga Aku jadikan rezkinya sebatas apa yang diperlukannya saja tanpa ada kelebihan maka itu artinya Aku sedang menghinakan dirinya. Namun, sesungguhnya Aku sedang menguji hamba-Ku dengan nikmat-nikmat sebagaimana halnya Aku ingin menguji dirinya dengan berbagai bentuk musibah.” (Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah, hal. 8. Islamspirit.com)
Jamaah sekalian, semoga Allah menganugerahkan kepada kita kesabaran ketika tertimpa musibah dan ketulusan dalam bersyukur ketika mendapat curahan nikmat. Inilah isi kehidupan dunia yang kita jalani sehari-hari… Sehat dan sakit, lapang dan sempit, mudah dan sulit, semuanya adalah cobaan dari Rabbul ‘alamin kepada hamba-hamba-Nya agar menjadi hamba yang sejati bagaimana pun keadaan yang dialaminya.
Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam Madarij as-Salikin (hal. 152) menjelaskan bahwa iman itu terdiri dari dua bagian, satu bagian sabar dan satu bagian yang lain adalah syukur. Beliau juga mengatakan (hal 155) bahwa sabar bagi iman laksana kepala bagi tubuh seorang insan. Tidak ada iman pada diri orang yang tidak memiliki kesabaran, sebagaimana halnya tidak ada jasad yang berfungsi apabila tidak ada kepalanya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu, beliau mengatakan, “Penghidupan yang terbaik itu sesungguhnya kami peroleh dengan modal kesabaran.”
Demikian pula syukur, ia merupakan bukti keseriusan seorang hamba dalam mengabdi dan tunduk kepada Rabbnya. Allah ta’ala berfirman,
وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Dan bersyukurlah kepada Allah jika kalian benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.”( al-Baqarah ; 172)
Allah menciptakan pendengaran, penglihatan, dan hati adalah untuk kita syukuri. Allah ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian dalam keadaan kalian tidak mengetahui apa-apa, dan Allah menciptakan untuk kalian pendengaran, penglihatan, dan hati mudah-mudahan kalian bersyukur (kepada-Nya).” (QS. an-Nahl : 78).
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya :
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ وَشَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ جَمِيعًا عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ وَاللَّفْظُ لِشَيْبَانَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ صُهَيْبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Haddab bin Khalid al-Azdi dan Syaiban bin Farrukh menuturkan kepada kami, semuanya dari jalan Sulaiman bin al-Mughirah, sedangkan lafaznya adalah milik Syaiban. Mereka berkata: Sulaiman menuturkan kepada kami. Dia berkata: Tsabit menuturkan kepada kami dari Abdurrahman bin Abi Laila dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik. Dan hal itu tidak akan diperoleh kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan, maka dia bersyukur. Maka hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila dia tertimpa kesusahan maka dia bersabar. Maka itu juga merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim dalam kitab az-Zuhd wa ar-Raqa’iq)
Jamaah sekalian, untuk bisa menjadi hamba yang rajin bersyukur seorang hamba senantiasa membutuhkan taufik dan pertolongan Allah ta’ala. Demikian pula untuk menjadi seorang penyabar, maka Allah ta’ala adalah satu-satunya tempat kita bergantung dan mengharap pertolongan. Allah ta’ala berfirman,
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ
“Bersabarlah, dan tidaklah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan dari Allah.” (QS. an-Nahl : 127)
Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan di dalam Sunannya :
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ مَيْسَرَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ بْنُ شُرَيْحٍ قَالَ سَمِعْتُ عُقْبَةَ بْنَ مُسْلِمٍ يَقُولُ حَدَّثَنِي أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيُّ عَنْ الصُّنَابِحِيِّ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ وَأَوْصَى بِذَلِكَ مُعَاذٌ الصُّنَابِحِيَّ وَأَوْصَى بِهِ الصُّنَابِحِيُّ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ
‘Ubaidullah bin Umar bin Maisarah menuturkan kepada kami. Dia berkata; Abdullah bin Yazid al-Muqri’ menuturkan kepada kami. Dia berkata; Haiwah bin Syuraih menuturkan kepada kami. Dia berkata; Aku mendengar ‘Uqbah bin Muslim mengatakan; Abu Abdirrahman al-Hubuli menuturkan kepadaku dari as-Shunabihi dari Mu’adz bin Jabal -radhiyallahu’anhu- bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangannya seraya mengucapkan, “Hai Mu’adz, demi Allah sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu. Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu.” Lalu beliau bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu hai Mu’adz, jangan kamu tinggalkan bacaan setiap kali di akhir sholat hendaknya kamu berdoa, ‘Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik’ (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu).” Maka Mu’adz pun juga mewasiatkan hal itu kepada as-Shunabihi. Demikian juga as-Shunabihi mewasiatkan hal serupa kepada Abu Abdirrahman (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
** Luasnya Pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala
Sungguh betapa besar dan banyak nikmat yang telah dikaruniakan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita. Setiap hari silih berganti kita merasakan satu nikmat kemudian beralih kepada nikmat yang lain. Di mana kita terkadang tidak membayangkan sebelumnya akan terjadi dan mendapatkannya. Sangat besar dan banyak karena tidak bisa untuk dibatasi atau dihitung dengan alat secanggih apapun di masa kini.
Semua ini tentunya mengundang kita untuk menyimpulkan betapa besar karunia dan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Dalam realita kehidupan, kita menemukan keadaan yang memprihatinkan. Yaitu mayoritas manusia dalam keingkaran dan kekufuran kepada Pemberi Nikmat. Puncaknya adalah menyamakan pemberi nikmat dengan makhluk, yang keadaan makhluk itu sendiri sangat butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tentu hal ini termasuk dari kedzaliman di atas kedzaliman sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedzaliman yang paling besar.” (QS.Luqman: 13)
Kendati demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memberikan kepada mereka sebagian karunia-Nya disebabkan “kasih sayang-Nya mendahului murka-Nya” dan membukakan bagi mereka pintu untuk bertaubat. Oleh sebab itu tidak ada alasan bagi hamba ini untuk:
- Ingkar dan kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menyamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya yang sangat butuh kepada-Nya.
- Menyombongkan diri serta angkuh dengan tidak mau melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan larangan-larangan-Nya atau tidak mau menerima kebenaran dan mengentengkan orang lain.
-Tidak mensyukuri pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan nikmat apapun yang kalian dapatkan adalah datang dari Allah.” (QS.An-Nahl: 53)
“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak akan sanggup.” (QS.An-Nahl: 18)

Pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Satu Tujuan yang Mulia
Dari sekian nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita, mari kita mencoba menghitungnya. Sudah berapakah dalam kalkulasi kita nikmat yang telah kita syukuri dan dari sekian nikmat yang telah kita pergunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Jika kita menemukan kalkulasi yang baik, maka pujilah Allah Subhanahu wa Ta’ala karena Dia telah memberimu kesempatan yang baik. Jika kita menemukan sebaliknya maka janganlah engkau mencela melainkan dirimu sendiri.(1)
Setiap orang bisa mengatakan bahwa semua yang ada di dunia ini merupakan pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tahukah anda apa rahasia di balik pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala tersebut?
Ketahuilah bahwa kenikmatan yang berlimpah ruah bukanlah tujuan diciptakannya manusia dan bukan pula sebagai wujud cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia untuk sebuah kemuliaan baginya dan menjadikan segala nikmat itu sebagai perantara untuk menyampaikan kepada kemuliaan tersebut. Tujuan itu adalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, sebagaimana hal ini disebutkan dalam firman-Nya: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepada-Ku.” (QS.Adz-Dzariyat: 56)
Bagi orang yang berakal akan berusaha mencari rahasia di balik pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berlimpah ruah tersebut. Setelah dia menemukan jawabannya, yaitu untuk beribadah kepada-Nya saja, maka dia akan mengetahui pula bahwa dunia bukan sebagai tujuan.
Sebagai bukti yaitu adanya kematian setelah hidup ini dan adanya kehidupan setelah kematian diiringi dengan persidangan dan pengadilan serta pembalasan dari Allah. Itulah kehidupan yang hakiki di akhirat nanti. Kesimpulan seperti ini akan mengantarkan kepada:
1. Dunia bukan tujuan hidup.
2. Kenikmatan yang ada padanya bukan tujuan diciptakan manusia, akan tetapi sebagai perantara untuk suatu tujuan yang mulia.
3. Semangat beramal untuk tujuan hidup yang hakiki dan kekal.
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Ketahuilah bahwa nikmat itu ada dua bentuk, nikmat yang menjadi tujuan dan nikmat yang menjadi perantara menuju tujuan. Nikmat yang merupakan tujuan adalah kebahagiaan akhirat dan nilainya akan kembali kepada empat perkara.
Pertama : Kekekalan dan tidak ada kebinasaan setelahnya,
Kedua : Kebahagian yang tidak ada duka setelahnya,
Ketiga : Ilmu yang tidak ada kejahilan setelahnya,
Keempat: Kaya yang tidak ada kefakiran setelahnya.
Semua ini merupakan kebahagiaan yang hakiki. Adapun bagian yang kedua (dari dua jenis nikmat) adalah sebagai perantara menuju kebahagiaan yang disebutkan dan ini ada empat perkara:
Pertama : Keutamaan diri sendiri seperti keimanan dan akhlak yang baik.
Kedua : Keutamaan pada badan seperti kekuatan dan kesehatan dan sebagainya.
Ketiga : Keutamaan yang terkait dengan badan seperti harta, kedudukan, dan keluarga.
Keempat: Sebab-sebab yang menghimpun nikmat-nikmat tersebut dengan segala keutamaan seperti hidayah, bimbingan, kebaikan, pertolongan, dan semua nikmat ini adalah besar.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 282)
Untaian Indah dari Ibnu Qudamah
“Ketahuilah bahwa segala yang dicari oleh setiap orang adalah nikmat. Akan tetapi kenikmatan yang hakiki adalah kebahagiaan di akhirat kelak dan segala nikmat selainnya akan lenyap.
Semua perkara yang disandarkan kepada kita ada empat macam:
Pertama, Sesuatu yang bermanfaat di dunia dan di akhirat seperti ilmu dan akhlak yang baik. Inilah kenikmatan yang hakiki.
Kedua, Sesuatu yang memudaratkan di dunia dan di akhirat. Ini merupakan bala’ (kerugian) yang hakiki.
Ketiga, Bermanfaat di dunia akan tetapi memudaratkan di akhirat seperti berlezat-lezat dan mengikuti hawa nafsu. Ini sesungguhnya bala bagi orang yang berakal, sekalipun orang jahil menganggapnya nikmat. Seperti seseorang yang sedang lapar lalu menemukan madu yang bercampur racun. Bila tidak mengetahuinya, dia menganggap sebuah nikmat dan jika mengetahuinya dia menganggapnya sebagai malapetaka.
Keempat, Memudaratkan di dunia namun akan bermanfaat di akhirat sebagai nikmat bagi orang yang berakal. Contohnya obat, bila dirasakan sangat pahit dan pada akhirnya akan menyembuhkan (dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Seorang anak bila dipaksa untuk meminumnya dia menyangka sebagai malapetaka dan orang yang berakal akan menganggapnya sebagai nikmat. Demikian juga bila seorang anak butuh untuk dibekam, sang bapak berusaha menyuruh dan memerintahkan anaknya untuk melakukannya. Namun sang anak tidak bisa melihat akibat di belakang yang akan muncul berupa kesembuhan.
(Begitupun) sang ibu akan berusaha mencegah karena cintanya yang tinggi kepada anak tersebut karena sang ibu tidak tahu tentang maslahat yang akan muncul dari pengobatan tersebut.
Sang anak menuruti apa kata ibunya. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuannya sehingga ia lebih menuruti ibunya daripada bapaknya. Bersamaan dengan itu sang anak menganggap bapaknya sebagai musuh. Jika sang anak berakal, niscaya dia akan menyimpulkan bahwa sang ibu merupakan musuh sesungguhnya dalam wujud teman dekat. Karena larangan sang ibu untuk berbekam akan menggiringnya kepada penyakit yang lebih besar dibandingkan sakit karena berbekam.
Karena itu, teman yang jahil lebih berbahaya dari seorang musuh yang berakal. Dan setiap orang menjadi teman dirinya sendiri, akan tetapi nafsu merupakan teman yang jahil. Nafsu akan berbuat pada dirinya apa yang tidak diperbuat oleh musuh.” (Minhajul Qashidin hal. 281-282)

Syukur dalam Tinjauan Bahasa dan Agama
Syukur secara bahasa adalah nampaknya bekas makan pada badan binatang dengan jelas. Binatang yang syakur artinya: Apabila nampak padanya kegemukan karena makan melebihi takarannya.
Adapun dalam tinjauan agama, syukur adalah: Nampaknya pengaruh nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas seorang hamba melalui lisannya dengan cara memuji dan mengakuinya; melalui hati dengan cara meyakininya dan cinta; serta melalui anggota badan dengan penuh ketundukan dan ketaatan. (Madarijus Salikin, 2/244)
Ada juga yang mendefinisikan syukur dengan makna lain seperti:
1. Mengakui nikmat yang diberikan dengan penuh ketundukan.
2. Memuji yang memberi nikmat atas nikmat yang diberikannya.
3. Cinta hati kepada yang memberi nikmat dan (tunduknya) anggota badan dengan ketaatan
serta lisan dengan cara memuji dan menyanjungnya.
4. Menyaksikan kenikmatan dan menjaga (diri dari) keharaman.
5. Mengetahui kelemahan diri dari bersyukur.
6. Menyandarkan nikmat tersebut kepada pemberinya dengan ketenangan.
7. Engkau melihat dirimu orang yang tidak pantas untuk mendapatkan nikmat.
8. Mengikat nikmat yang ada dan mencari nikmat yang tidak ada.
Masih banyak lagi definisi para ulama tentang syukur, akan tetapi semuanya kembali kepada penjelasan Ibnul Qayyim sebagaimana disebutkan di atas. Yang jelas, syukur adalah sebuah istilah yang digunakan pada pengakuan/ pengetahuan akan sebuah nikmat. Karena mengetahui nikmat merupakan jalan untuk mengetahui Dzat yang memberi nikmat. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakan Islam dan iman di dalam Al-Qur`an dengan syukur. Dari sini diketahui bahwa mengetahui sebuah nikmat merupakan rukun dari rukun-rukun syukur. (Madarijus Salikin, 2/247)
Apabila seorang hamba mengetahui sebuah nikmat maka dia akan mengetahui yang memberi nikmat. Ketika seseorang mengetahui yang memberi nikmat tentu dia akan mencintai-Nya dan terdorong untuk bersungguh-sungguh mensyukuri nikmat-Nya. (Madarijus Salikin, 2/247, secara ringkas)
Syukur Tidak Sempurna Melainkan dengan Mengetahui Apa yang Dicintai Allah. Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Ketahuilah bahwa syukur dan tidak kufur tidak akan sempurna melainkan dengan mengetahui segala apa yang dicintai oleh Allah. Sebab makna syukur adalah mempergunakan segala karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada apa yang dicintai-Nya, dan kufur nikmat adalah sebaliknya. Bisa juga dengan tidak memanfaatkan nikmat tersebut atau mempergunakannya pada apa yang dimurkai-Nya.”
Syukur dalam Tinjauan Bahasa dan Agama
Syukur secara bahasa adalah nampaknya bekas makan pada badan binatang dengan jelas. Binatang yang syakur artinya: Apabila nampak padanya kegemukan karena makan melebihi takarannya.
Adapun dalam tinjauan agama, syukur adalah: Nampaknya pengaruh nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas seorang hamba melalui lisannya dengan cara memuji dan mengakuinya; melalui hati dengan cara meyakininya dan cinta; serta melalui anggota badan dengan penuh ketundukan dan ketaatan. (Madarijus Salikin, 2/244)

Ada juga yang mendefinisikan syukur dengan makna lain seperti:
1. Mengakui nikmat yang diberikan dengan penuh ketundukan.
2. Memuji yang memberi nikmat atas nikmat yang diberikannya.
3. Cinta hati kepada yang memberi nikmat dan (tunduknya) anggota badan dengan ketaatan
serta lisan dengan cara memuji dan menyanjungnya.
4. Menyaksikan kenikmatan dan menjaga (diri dari) keharaman.
5. Mengetahui kelemahan diri dari bersyukur.
6. Menyandarkan nikmat tersebut kepada pemberinya dengan ketenangan.
7. Engkau melihat dirimu orang yang tidak pantas untuk mendapatkan nikmat.
8. Mengikat nikmat yang ada dan mencari nikmat yang tidak ada.
Masih banyak lagi definisi para ulama tentang syukur, akan tetapi semuanya kembali kepada penjelasan Ibnul Qayyim sebagaimana disebutkan di atas.
Yang jelas, syukur adalah sebuah istilah yang digunakan pada pengakuan/ pengetahuan akan sebuah nikmat. Karena mengetahui nikmat merupakan jalan untuk mengetahui Dzat yang memberi nikmat. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakan Islam dan iman di dalam Al-Qur`an dengan syukur. Dari sini diketahui bahwa mengetahui sebuah nikmat merupakan rukun dari rukun-rukun syukur. (Madarijus Salikin, 2/247)
Apabila seorang hamba mengetahui sebuah nikmat maka dia akan mengetahui yang memberi nikmat. Ketika seseorang mengetahui yang memberi nikmat tentu dia akan mencintai-Nya dan terdorong untuk bersungguh-sungguh mensyukuri nikmat-Nya. (Madarijus Salikin, 2/247, secara ringkas)
Syukur Tidak Sempurna Melainkan dengan Mengetahui Apa yang Dicintai Allah. Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Ketahuilah bahwa syukur dan tidak kufur tidak akan sempurna melainkan dengan mengetahui segala apa yang dicintai oleh Allah. Sebab makna syukur adalah mempergunakan segala karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada apa yang dicintai-Nya, dan kufur nikmat adalah sebaliknya. Bisa juga dengan tidak memanfaatkan nikmat tersebut atau mempergunakannya pada apa yang dimurkai-Nya.”
Semoga Allah ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk sabar dan syukur. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar